JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kenaikan penerimaan cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga Mei 2025. Penerimaan cukai mencapai Rp17,1 triliun atau naik 146,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan PNBP mencapai Rp188,7 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, pertumbuhan penerimaan cukai ini dipengaruhi kebijakan penundaan pelunasan pita cukai dari 3 bulan (2024) menjadi 2 bulan (2025). Jika dilakukan normalisasi, penerimaan cukai pada Mei 2025 tetap menunjukkan peningkatan.
"Ini karena kenaikan organik, karena penundaan pelunasan pita cukai nanti tiga bulan, nanti bulan Juni akan naik, namun secara organik masih meningkat," kata Anggito, dalam Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Juni 2025, Selasa (17/6/2025).
Secara kumulatif, penerimaan cukai dari bulan Maret hingga Mei 2025 tercatat sebesar Rp50,6 triliun. Jumlah ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 25,4% secara year-on-year (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama pada Maret hingga Mei 2024 yang sebesar Rp40,4 triliun.
Data rata-rata bulanan menunjukkan tren yang bervariasi. Pada tahun 2022, rata-rata penerimaan cukai bulanan adalah Rp20,7 triliun, dengan puncak tertinggi di bulan Juli sebesar Rp27,9 triliun.
Di tahun 2023, rata-rata bulanan berada di angka Rp15,5 triliun, dengan puncak di bulan April sebesar Rp18,2 triliun.
Kemudian pada tahun 2024, rata-rata bulanan tercatat Rp13,5 triliun, dengan angka tertinggi di bulan Januari sebesar Rp21,2 triliun. Untuk tahun 2025, rata-rata penerimaan cukai bulanan hingga Mei adalah Rp19,1 triliun, dengan Mei menyentuh Rp17,1 triliun.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga akhir Mei 2025 tetap menunjukkan kinerja yang baik, mencapai Rp188,7 triliun. Angka ini setara dengan 36,7% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Anggito menjelaskan, secara keseluruhan PNBP mengalami koreksi sebesar 5,9%. Hal ini disebabkan oleh melandainya setoran bulanan dan sebagian besar karena penurunan harga komoditas serta volume produksi dari sumber daya alam.
"Tapi juga sebagian besar karena penurunan harga komoditi dan juga volume produksi dari sumber daya alam," ungkap Anggito.
Anggito merinci bahwa penerimaan dari sumber daya alam (SDA) migas mengalami koreksi yang cukup besar, dengan pencapaian yang masih di angka Rp39,8 triliun atau 32,9% dari target.
Sementara itu, PNBP dari SDA non-migas mencapai Rp46,3 triliun atau 47%. PNBP lainnya sebesar Rp59,4 triliun atau 46% dan Badan Layanan Umum (BLU) mencapai Rp32,3 triliun atau 41,4%.
"Anda bisa lihat bulanannya mungkin fluktuasinya sama ya April-Mei sedikit turun itu konsisten antara 2022, 2024, dan 2025," tambahnya, merujuk pada pola fluktuasi bulanan yang konsisten.
Secara lebih detail untuk PNBP migas, Anggito menjelaskan adanya kontraksi atau koreksi yang cukup dalam sebesar 13,5 persen. Hal ini dipicu oleh harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang hingga April 2024 berada di angka USD70,3 per barel, menurun dibandingkan tahun 2024 yang mencapai USD81. Penurunan harga ICP ini berdampak pada penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) migas maupun PNBP migas.
Adapun PNBP non-migas, yang disumbang dari sektor mineral dan batubara (Minerba), kehutanan, kelautan dan perikanan, serta panas bumi, mencatat realisasi sebesar Rp30,0 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 6,84 persen dibandingkan tahun lalu, yang disebabkan oleh faktor volume produksi yang mengalami penurunan.
Terakhir, mengenai realisasi PNBP untuk BLU dan PNBP lainnya. Meskipun jumlahnya tidak terlalu signifikan, terdapat kenaikan, terutama untuk PNBP lainnya yang disumbang dari berbagai penerimaan kementerian/lembaga.
(Feby Novalius)