JAKARTA - Pemerintah menegaskan akan memperkuat penegakan hukum dan reformasi administrasi perpajakan guna menekan aktivitas ekonomi bayangan (shadow economy) yang dinilai merugikan penerimaan negara.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi mencapai target penerimaan pajak 2026 yang ditetapkan tumbuh 13,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggambarkan shadow economy sebagai aktivitas ekonomi ilegal yang masih menyumbang masalah bagi kepatuhan/compliance perpajakan.
"Untuk shadow economy, sebetulnya di dalam perekonomian kita, kita akan terus (melakukan compliance enforcement plan) baik untuk sektor formal maupun informal," kata Sri dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8).
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung adanya jutaan hektare perkebunan CPO ilegal yang merugikan negara.
“Ini menciptakan sebuah database baru. Jadi kami akan menggunakan lebih banyak enforcement dan reform di bidang administrasi,” jelas Sri.
Untuk sektor informal, penegakkan kepatuhan pajak bakal tetap berpihak bagi pelaku usaha kecil dan menengah agar tidak terbebani pajak. Meski demikian, kegiatan ilegal tetap akan menjadi sasaran utama pengawasan.
"Untuk UMKM kita tetap memberikan tax break yang sangat besar yakni Rp500 juta pertama penerimaan mereka tidak dipajaki, sedangkan yang PTKPnya sampai Rp4,8 miliar, itu juga hanya 0,5 persen (PPh Final)," ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah memastikan tidak berencana menambah jenis pajak baru maupun menaikkan tarif, melainkan fokus memperbaiki sistem yang sudah ada.
“Kita lebih kepada reform di internal, jadi pertama coretax, dan pertukaran data akan makin diintensifkan,” ujarnya
Ia menambahkan, kolaborasi antar-direktorat dan kementerian akan diperkuat untuk mengurangi potensi kebocoran penerimaan.
“Melalui Pak Dirjen Pajak dengan Dirjen Bea Cukai dari PNBP, kita masih melihat ruang untuk improvement bahkan di antara ketiga penerimaan negara tersebut maupun dengan kementerian lembaga,” kata Sri.
(Taufik Fajar)