JAKARTA – Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar, mulai dari tenaga surya, angin, mikrohidro, hingga panas bumi. Sumber energi ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber listrik, terutama di desa tertinggal.
“Masih ada desa-desa yang belum terjangkau listrik. Padahal, wilayah perdesaan memiliki sumber energi yang melimpah. Kalau dikelola dengan baik, ini bisa jadi solusi berkelanjutan untuk menerangi masyarakat,” ujar Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, Minggu (31/8/2025).
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menambahkan bahwa pengembangan energi bersih tidak hanya menyelesaikan masalah listrik desa, tetapi juga mendukung percepatan target net zero emissions.
“Kita akan mempercepat dari target awal 2060. Dengan begitu, pemanfaatan energi terbarukan di desa diharapkan mampu menutup kesenjangan akses listrik sekaligus menjadikan desa sebagai penggerak utama transisi energi menuju Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berkomitmen kuat memberikan akses listrik bagi masyarakat dan desa yang belum berlistrik dalam lima tahun ke depan. Melalui Program Listrik Desa (Lisdes), pemerintah menargetkan elektrifikasi untuk 5.758 desa yang belum teraliri listrik, dengan pembangunan pembangkit berkapasitas 394 MW dan penyambungan listrik ke sekitar 780 ribu rumah tangga. Program ini ditujukan untuk memastikan seluruh warga, termasuk di pelosok negeri, bisa menikmati layanan listrik 24 jam penuh.
"Tugas kami lima tahun ke depan melalui Program Lisdes 2025–2029 sesuai perintah Bapak Presiden Prabowo kepada kami adalah segera menginventarisir dan membuat program terobosan dalam rangka memberikan akses listrik kepada desa-desa yang belum terlistriki," kata Menteri Bahlil.
Bagi Bahlil, energi bukan hanya persoalan kebutuhan, tapi juga bentuk pemerataan dan keadilan yang harus dilakukan dari Aceh sampai Papua. Untuk merealisasikan Program Lisdes ini memerlukan investasi sekitar Rp50 triliun.
"Upaya menyediakan akses desa belum berlistrik ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk menanamkan investasinya bersama pemerintah untuk mewujudkan energi berkeadilan," ujarnya.
Ketiadaan akses listrik menjadi kenangan tersendiri bagi Bahlil. Tempat kelahirannya di Maluku Tengah saat itu belum tersedia akses listrik, penerangan hanya didapat melalui lampu pelita berbahan bakar minyak tanah.
"Ini program mengingatkan saya waktu dulu. Saya dulu ini kan adalah anak republik yang lahir tidak ada listrik. Saya lahir pakai lampu pelita, bukan di rumah sakit dan sekolah sampai SD itu tidak juga pakai listrik, penerangan didapat dari lampu pelita yang jika saya bangun pagi membuat kening saya hitam," kenangnya.
(Feby Novalius)