Adu Gaji Sri Mulyani sebagai Petinggi Bank Dunia vs Menkeu Indonesia, Bak Langit dan Bumi?

JAKARTA – Adu gaji Sri Mulyani sebagai petinggi Bank Dunia vs Menkeu Indonesia, bak langit dan bumi?

Nama Sri Mulyani identik dengan posisi penting di bidang keuangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Perempuan kelahiran 26 Agustus 1962 pernah berkarier sebagai petinggi di World Bank (Bank Dunia), sebelum kemudian dipercaya Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) sejak 27 Juni 2016.

Namun, publik kerap menyoroti perbedaan mencolok antara gaji Sri Mulyani saat bekerja di Bank Dunia dan ketika menjabat sebagai Menkeu RI. Perbandingan keduanya disebut bak “langit dan bumi” karena selisihnya yang begitu jauh.

Gaji Menkeu Indonesia

Berdasarkan data Direktorat Penyusunan APBN Kementerian Keuangan per 9 November 2015, seorang menteri di Indonesia memperoleh gaji Rp19 juta per bulan. Di luar itu, masih ada biaya operasional menteri yang berkisar Rp120–Rp150 juta per bulan. Gajinya ditambah tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, dan bonus tertentu.

Meski tidak sebesar posisinya di lembaga internasional, Sri Mulyani menyebut jabatan sebagai Menkeu merupakan sebuah kehormatan dan bentuk pengabdian kepada bangsa.

Gaji Petinggi Bank Dunia

Karier internasional Sri Mulyani mencapai puncaknya pada 2010 saat dia dipercaya menjabat sebagai Managing Director and Chief Operating Officer (COO) World Bank. Berdasarkan publikasi World Bank untuk periode yang berakhir 2015, Sri Mulyani menerima US$630.175 per tahun atau setara Rp9,9 miliar per tahun.

Dengan angka tersebut, dia mengantongi sekitar Rp687,5 juta per bulan. Tidak hanya itu, dia juga mendapat tambahan dana pensiun sebesar US$120.566 serta bonus dan remunerasi sekitar US$99.659.

Selisih Gaji yang Fantastis

Jika dibandingkan, gaji Sri Mulyani di World Bank jauh lebih tinggi berkali-kali lipat dibandingkan ketika menjabat sebagai Menkeu RI. Perbedaan inilah yang membuat publik menilai perbandingannya bak langit dan bumi.

Meski demikian, Sri Mulyani memilih kembali ke tanah air demi mengabdikan ilmunya untuk kepentingan bangsa, meskipun harus merelakan pendapatan fantastis di level internasional.

(Feby Novalius)