JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari aset kripto mencapai Rp1,61 triliun hingga Agustus 2025. Angka ini menunjukkan tren kenaikan sejak regulasi pajak kripto diberlakukan pada 2022.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merinci penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar pada 2022, Rp220,83 miliar pada 2023, Rp620,4 miliar pada 2024, dan Rp522,82 miliar selama delapan bulan pertama 2025.
Adapun total penerimaan terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp770,42 miliar serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri sebesar Rp840,08 miliar.
Capaian ini menjadi bukti bahwa aset kripto telah berkembang dari sekadar alternatif investasi menjadi sektor yang berkontribusi nyata terhadap penerimaan negara.
Selain data nasional, Indodax juga mencatat kontribusi signifikan dalam penerimaan pajak.
Berdasarkan catatan, pajak yang disetorkan ke negara adalah sebagai berikut:
- 2022: PPN Rp60,04 miliar, PPh Rp54,58 miliar (total Rp114,63 miliar)
- 2023: PPN Rp47,91 miliar, PPh Rp43,56 miliar (total Rp91,47 miliar)
- 2024: PPN Rp150,74 miliar, PPh Rp133,20 miliar (total Rp283,95 miliar)
- 2025 (Januari–Agustus): PPN Rp124,69 miliar, PPh Rp140,71 miliar (total Rp265,40 miliar)
Kontribusi pajak Indodax pada Januari-Agustus 2025 mencapai Rp265,4 miliar, setara dengan sekitar 50,7 persen dari total penerimaan pajak kripto nasional pada periode yang sama.
Vice President Indodax Antony Kusuma menilai capaian tersebut adalah bukti nyata peran industri kripto dalam menopang fiskal negara,
“Kontribusi yang mencapai lebih dari separuh total pajak kripto nasional menunjukkan betapa pentingnya peran bursa domestik dalam ekosistem ini. Angka ini bukan sekadar nominal, melainkan cerminan dari tingkat adopsi masyarakat yang semakin luas serta komitmen industri kripto terhadap kepatuhan regulasi di Indonesia,” ujar Antony di Jakarta, Sabtu (4 Oktober 2025).
Dia menambahkan bahwa ketika regulasi pajak selaras dengan karakteristik aset digital, dampaknya bukan hanya pada meningkatnya kepercayaan investor, tetapi juga pada pertumbuhan volume transaksi yang lebih sehat dan transparan di bursa lokal.
Lebih jauh, dia menekankan bahwa penerimaan pajak kripto harus dilihat sebagai indikator legitimasi industri kripto. Semakin tinggi kontribusinya ke kas negara, semakin jelas bahwa investasi kripto bukan lagi sekadar tren, melainkan bagian resmi dari sistem keuangan digital Indonesia.
"Regulasi yang konsisten akan menjadikan Indonesia salah satu pusat perdagangan aset digital terbesar di kawasan,” katanya.
Antony mengatakan, pihaknya berkomitmen dalam mendukung kebijakan pemerintah, “Bagi kami, pajak kripto adalah jembatan yang mempertemukan kepentingan negara dan industri. Selama sinergi ini terjaga, kontribusi kripto terhadap perekonomian Indonesia akan semakin besar,” pungkasnya.
Dengan penerimaan pajak kripto yang menembus Rp1,61 triliun hingga Agustus 2025, industri aset digital Indonesia kini terbukti bukan hanya sebagai sarana investasi, tetapi juga sebagai penopang fiskal nasional.
Seiring dengan meningkatnya kontribusi pajak kripto, pasar global juga menunjukkan dinamika positif. Harga Bitcoin (BTC) menembus D120 ribu atau sekitar Rp2 miliar, menurut data CoinMarketCap dan TradingView.
Lonjakan ini didorong oleh volume perdagangan ETF Bitcoin spot yang mencapai USD5 miliar dalam sehari serta arus masuk institusional senilai USD676 juta, dengan BlackRock iShares Bitcoin Trust (IBIT) menyerap USD405 juta dan Fidelity menambah 1.570 BTC senilai USD179 juta.
Secara teknikal, Bitcoin kini memasuki fase price discovery dengan potensi kenaikan menuju USD128.000–USD135.000 (Rp2,1–Rp2,3 miliar).
Meski demikian, analis mengingatkan adanya zona support penting di USS110.000–USD112.000 (Rp1,8 miliar).
Kombinasi antara penerimaan pajak kripto nasional yang solid dan tren kenaikan harga Bitcoin global menegaskan bahwa industri kripto kini memainkan peran strategis, baik dalam menopang fiskal negara, memberikan potensi investasi yang baik, dan sebagai bagian dari ekosistem ekonomi digital dunia.
(Taufik Fajar)