JAKARTA - Bolehkah Debt Collector tarik paksa kendaraan di Jalanan? Kasus penarikan sepeda motor oleh debt collector di tengah jalan masih sering terjadi di masyarakat.
Oknum penagih utang menghadang kendaraan di jalan atau mendatangi rumah konsumen untuk memaksa penarikan kembali kendaraan yang cicilannya menunggak.
Dikutip dari laman Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Sabtu (25/10/2025) masalah penarikan paksa kendaraan bermotor sering kali muncul saat konsumen tidak membayar angsuran atau gagal melunasi cicilan. perusahaan pembiayaan umumnya akan menunjuk pihak ketiga, yakni debt collector atau penagih utang.
Namun, apakah penarikan paksa kendaraan oleh debt collector di jalan diperbolehkan secara hukum? Apa saja ketentuan yang mengatur hal tersebut? Berikut informasinya.
Aturan Penarikan Kendaraan
Ketika konsumen mengalami gagal bayar atas cicilan kendaraan, mereka sebenarnya memiliki hak agar tidak serta-merta kehilangan kendaraannya di jalan.
Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa penarikan kendaraan oleh kreditur harus melalui permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Artinya, proses hukum tetap harus dijalankan sebelum kendaraan dapat ditarik.
Dalam kaitannya dengan eksekusi, debt collector yang melakukan penarikan kendaraan juga wajib memenuhi sejumlah syarat.
Mereka harus membawa sertifikat jaminan fidusia, surat kuasa atau surat tugas penarikan dari perusahaan pembiayaan, serta kartu identitas dan sertifikat profesi. Tanpa kelengkapan ini, tindakan penarikan dapat dianggap tidak sah secara hukum. Apabila penarikan dilakukan secara paksa atau tanpa prosedur yang benar, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Pelanggaran semacam ini dapat dijerat dengan Pasal 335 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, atau bahkan Pasal 365 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, jika terjadi perampasan di jalanan.
Melansir dari laman Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, dijelaskan bahwa proses penarikan kendaraan bermasalah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
UU ini menjadi dasar hukum yang mengatur bagaimana objek jaminan seperti kendaraan bisa dieksekusi secara sah.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda berdasarkan kepercayaan, di mana benda tersebut tetap dikuasai oleh pemiliknya.
Dalam Pasal 15, disebutkan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Maka itu, jika debitor wanprestasi (cedera janji), pihak penerima fidusia berhak mengeksekusi objek jaminan.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua perusahaan pembiayaan menjalankan prosedur sebagaimana mestinya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012, setiap jaminan fidusia wajib didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Sayangnya, banyak perusahaan leasing justru menghindari kewajiban ini dengan hanya membuat perjanjian di bawah tangan, yang tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengeksekusi sendiri.
Akibat kelalaian tersebut, sejumlah perusahaan akhirnya menggunakan jasa debt collector untuk menarik kendaraan secara langsung dari tangan konsumen. Sayangnya, praktik ini membuka celah terjadinya pelanggaran hukum, termasuk intimidasi, ancaman, hingga kekerasan fisik.
Padahal, tindakan penarikan kendaraan secara paksa di jalanan oleh debt collector sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan dapat dianggap sebagai tindak pidana.
Maka itu, penarikan kendaraan yang sah hanya bisa dilakukan lewat proses pengadilan dengan dasar akta fidusia yang telah didaftarkan secara resmi. Dan satu-satunya pihak yang berwenang melakukan eksekusi adalah juru sita dari pengadilan, bukan pihak ketiga atau debt collector. Langkah ini penting untuk melindungi hak konsumen sekaligus memastikan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
(Taufik Fajar)