JAKARTA – Era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah berakhir seiring dilantiknya Jokowi sebagai Presiden. Di bawah SBY, telah banyak perkembangan dilakukan, terutama dalam bidang ekonomi, hal tersebut tercermin dari meningkatnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp2.000 triliun pada 2015 nanti.
Wakil Menteri Keuangan Demisioner Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro memaparkan lika-liku perjalanan APBN Indonesia selama lima tahun terakhir. Kini APBN itu dijalankan oleh Jokowi Kepada Okezone, dia membeberkan kekurangan dan kelebihan yang harus dicapai pada APBN Indonesia. Berikut wawancaranya:
Perjalanan APBN kita selama lima tahun terakhir ini bagaimana sih pak?
Pertama, memang penambahan kuantitas sendiri size dari APBN juga merupakan prestasi, karena apa? Ya karena menambah volume dari APBN itu berarti memperbesar porsi dari belanja. Dan satu lagi, itu menunjukkan potensi penerimaan lebih meningkat karena setiap belanja disertai penerimaan dan kemudian defisitnya atau gapnya ditutup dengan pembiayaan. Jadi satu hal volume dari APBN itu menentukan.
Nah, kalau mengenai alokasi belanjanya tentunya ini sangat 'bankable'. Karena pasti ada pihak yang bilang ini cukup, tapi ada pihak yang bilang enggak cukup.
Tapi memang harus diakui, beratnya APBN dalam lima tahun belakangan ini karena besaran ruang fiskal (fiscal space) relatif tidak banyak berubah, kenapa? Karena belanja pengikatnya dalam lima tahun relatif sama dalam pengertian belanja mengikatnya menghabiskan sebagian besar dari porsi APBN itu sendiri, sehingga praktis tidak banyak dapat dilakukan pemerintah selama lima tahun untuk bisa dengan program baru, terobosan baru atau percepatan infrastruktur yang sangat diharapkan.
Belum lagi bicara program-program untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi memang kendalanya bukan dari size APBN-nya tapi lebih karena besarnya fiscal space. Kita semua tahu tidak mudah juga nambah fiscal space, untuk tambah itu ada dua kemungkinan.
Pertama, penerimaan ditambah atau belanjanya yang dirapikan. Kalau penerimaan ditambah sebenarnya sudah terjadi artinya setiap tahun terjadi pertumbuhan penerimaan, katakanlah lebih dari 10 persen per tahun namun tentunya kalau bicara potensi sebenarnya bisa lebih besar lagi, namun untuk wujudkan potensi penerimaan lebih besar lagi dibutuhkan tidak hanya waktu yang lebih panjang tapi juga terobosan yang sifatnya mendasar.
Contoh menambah penerimaan itu seperti apa?
Contohnya mengenai pajak. Pajak itu kita bisa lebih gali dari pajak perorangan, terutama pajak perseorangan untuk orang-orang yang nerima bukan gaji tetap, jadi bukan pegawai itu masih kecil peranannya untuk penerimaan pajak kita, belum lagi ditambah lagi isu mengenai tansfer pricing yang tidak bisa dikerjakan Indonesia sendiri tapi perlu kerjasama dengan negara-negara sekitar atau internasional.
Dari sisi belanja tentunya, yang bisa menambah fiskal space adalah mengurangi belanja mengikat. Misalkan belanja pegawai, kelihatannya meningkat terus dan porsinya besar namun tidak boleh dilupakan dari belanja pegawai itu adalah belanja pensiun yang cukup besar juga. Sebagai contoh, ketika belanja negaranya besarnya Rp240 triliun, Rp70 triliunnya sendiri itu pensiun, tentunya ke depan bukan makin ringan tapi makin berat. Jadi ini harus cari solusinya supaya tidak makin berat ke depan.
Kemudian jumlah pegawai juga harus dievaluasi, apakah ya? Kita bukan bicara down sizing tapi paling tidak right sizing, supaya efektif maupun pegawai pusat dan daerah. Tentunya yang kita bisa lakukan dalam waktu jangka pendek, dan tentunya mitigasi yang sudah teruji itu adalah mengurangi atau merealokasi subsidi energi dari kategori belanja mengikat menjadi ruang fiskal.
Jadi sebenarnya itu lah potensi penambahan ruang fiskal dalam jangka pendek. Kalau dalam jangka menengah panjang itu yang tadi saya katakan banyak opsi tapi kalau jangka pendek itu salah satu opsinya. Kita pun sudah punya pengalaman untuk merelokasi belanja subsidi itu dan tentu memitigasi dampaknya apakah itu seperti inflasi maupun dampak daya beli masyarakat.
Jadi saya melihat selama lima tahun ini kita sudah melakukan upaya membuat anggaran kita supaya lebih berkualitas tapi selama fiskal space tidak bisa diperbesar secara signifkan, maka memang kualitas agak terganggu, kenapa terganggu? Karena dengan fiscal space terbatas jadi enggak bisa melakukan misalnya belanja infrastruktur yang lebih besar, tidak bisa mempercepat perbaikan dan perkembangan infrastruktur.
Belum lagi kita belum bisa berikan bantuan langsung kepada saudara-saudara kita yang belum beruntung karena memang anggarannya terbatas dan anggarannya sudah disubsidi atau diberikan bantuan kepada yang subsidi kurang tepat. Jadi di situ saya melihat itu dilema kita selama lima tahun menyiapkan APBN.
Tapi selama ini penerimaan pajak kita tidak pernah tercapai, kalau dipisah akan mungkin mencapai target?
Saya melihatnya jangan sampai kita sibuk dengan bentuk organisasinya, memikirkan bentuknya tapi yang paling penting adalah mengejar targetnya. Lebih baik kita fokus bagaimana kejar target dan kejar target itu menurut saya dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama memang ada komitmen dari semua pihak terutama dari pemerintah even level paling atas untuk membuat pajak itu lebih penting, jadi pajak itu salah satu alat penegakan hukum tapi kalau ketika orang pajak demikian juga dipermasalahkan, ini pegawai pajak yang benar ya artinya dianggap ada dispute dari wajib pajak tapi kemudian ada aparat hukum yang memilih yang memihak wajib pajaknya ini yang membuat upaya penagihan pajak akan lebih sulit.
Lalu selanjutnya?
Yang kedua, manajemen dari unit pajaknya sendiri dalam bentuk ditjen pajak, itu butuh fleksibilitas, salah satu yang paling gampang adalah butuh orang banyak tapi saya katakan yang paling lemah kita adalah pajak perseorangan, kenapa? Karena sekarang ini satu account representative-nya pajak itu menangani kira-kira 8 ribu wajib pajak. Dengan 8 ribu orang kita pasti enggak bisa melihat berapa besar potensi pajak yang dapat digali dari orang-orang itu, karena enggak cukup waktu saja untuk dapat melihat 8 ribu itu, baik melihat datanya apalagi melihat transaksi dari orang tersebut.
Jadi perlu fleksibilitas dalam meng-hire dan mem-fire juga kalau banyak orang yang enggak benar. Kemudian mungkin juga dari remunerasinya, karena sekali lagi ini kan bidang rawan penyuapan segala macam jadi agak sulit dia dengan pendapatan pas-pasan dia harus berhadapan dengan godaan yang begitu besar. Jadi kita lebih baik fokus bagaimana meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu singkat daripada sibuk berwacana mengenai ini organisasi seperti apa.
Kalau mau dibikin silakan. Tapi menurut saya harus ada penahapan yang jelas supaya ketika badan atau unit yang baru itu sudah bisa siap terbentuk tidak mengorbankan upaya meningkatkan penerimaan pada waktu proses transisi tersebut.
Tapi memungkinkan kerjasama dengan pihak ketiga atau swasta? Seperti menyewa outsourching?
Ya menurut saya ini harus ada disiplin, ini bukan debt collector kartu kredit. Ini pajak ini kewajiban negara dan ini pemerintah yang pungut dan ini harus ada tata tertib yang jelas. Jadi agak sulit jika itu di-outsourching kan karena itu sangat rawan terjadi penyalahgunaan.
APBN 2015 kita sudah sampai Rp2.000 triliun, tapi fiskal space kita kecil? Itu akan ada dampak selain ke inflasi ?
Ini pengurangan subsidi atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi ini adalah keputusan politik, kalau penyebabnya saya sudah katakan sudah punya pengalaman mitigasi dengan lebih baik. Contohnya, ketika harga naik misalkan, kan inflasi dampaknya kita harus lakukan program untuk kurangi tekanan terhadap inflasi. Pastikan bahan pangan yang menyebabkan inflasi itu tersedia dengan harga yang wajar atau cara lain kelompok masyarakat yang miskin atau hampir miskin yang paling terdampak oleh kenaikan BBM karena kemudian biaya transportasi naik, harga biaya makan naik itu yang diberikan cash transfer selama periode tertentu untuk menjaga sementara dampak inflasi itu sendiri.
Jadi kita sebenarnya enggak ada masalah dengan itu, cuma ini masalah politik. Kenapa? Ya karena di pemerintahan itu ada yang berkuasa dan tidak berkuasa. Itu pasti akan menjadi diskusi politik yang berkepanjangan.
(Fakhri Rezy)