JAKARTA - Pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pelunasan utang Indonesia bak membuka kisah lama tentang sejarah utang pemerintah terhadap lembaga donor International Monetary Fund (IMF).
SBY dalam akun Facebooknya meluruskan pernyataan Presiden Jokowi bahwa Indonesia masih memiliki utang kepada IMF. Pernyataan SBY di media sosial tersebut pun menjadi perbincangan hangat dan ramai di forum diskusi.
Berdasarkan penelusuran Okezone, Selasa (28/4/2015), kala Itu Jumat 6 Oktober 2006 SBY menggelar konferensi press di Kantor Presiden. Hadir sejumlah pejabat Lapangan Banteng mendampingi SBY. Mereka di antaranya adalah Menko Perekonomian yang kala itu dijabat Boediono, Menteri Keuangan yang dijabat oleh Sri Mulyani, dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah.
SBY menyatakan dukungannya atas keputusan BI untuk melunasi utang ke IMF. Menurutnya, penulasan utang kepada IMF merupakan bagian dari kerangka ekonomi Indonesia.
Pada konferensi press itu dia juga menyampaikan bahwa angka rasio utang Indonesia semakin menurun.
Pemaparan rasio utang
Tahun 2000 : 80 persen dari PDB
Tahun 2004 : 54 persen dari PDB
Tahun 2005 : 48 persen dari PDB.
Target 2006 : 40 persen dari PDB.
Dengan pelunasan utang IMF, ukuran gap terhadap GDP ratio sehat. Bahkan SBY meyakini, Indonesia lebih sehat dari negara lain di Asia Tenggara yang kala itu rasio utangnya masih tinggi.
Kini, sembilan tahun sudah berlalu. SBY dalam akunnya menceritakan, setelah utang IMF lunas, para pemimpin IMF (Managing Director) satu per satu berkunjung ke Indonesia. Mereka menemui SBY di kantor Presiden.
Mereka yang datang adalah Rodrigo de Rato (2007), Dominique Strauss-Kahn (2011) hingga Chistine Lagarde (2012). "Saya menerima kunjungan mereka dengan kepala tegak," ucap SBY.
Pada kunjungan pemimpin IMF tahun 2012, IMF berharap Indonesia bisa ikut menaruh dananya di IMF karena kita telah menjadi anggota G20, dengan peringkat nomor 16 ekonomi besar dunia.
IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu negara yang mengalami krisis berat dan perlu penyelamatan dari IMF.
(Rani Hardjanti)