BANDUNG – Pemerintah dinilai gagal mengendalikan harga daging di sejumlah pasar tradisional. Hingga H+5 Lebaran 2016, harga daging ayam dan sapi di sejumlah daerah di Jabar masih tinggi.
Harga daging ayam di sejumlah daerah tembus Rp50.000/kg. Bahkan, di Kabupaten Karawang, daging ayam dijual dengan harga Rp60.000/kg atau naik Rp15.000/kg beberapa hari sebelum Idul Fitri. Kenaikan harga ayam ini jauh di atas normal yang biasanya hanya berkisar Rp32.000-Rp34.000/kg. Tidak hanya daging ayam yang harga jualnya tinggi pasca-lebaran.
Penjualan daging sapi di sejumlah pasar tradisional di Jabar juga masih sekitar Rp110.000-Rp120.000/kg, jauh dari rencana pemerintah yang menginginkan Rp80.000/kg. Berdasarkan pantauan di beberapa daerah seperti Kota Bandung; Ka bu paten Karawang; Purwakarta; Kuningan; Garut; Sukabumi; Majalengka; dan Tasikmalaya, harga daging ayam rata-rata masih dijual di atas Rp42.000/kg. Harga daging ayam paling murah terdapat di daerah Ka bu paten Bandung Barat yang dijual Rp40.000/kg.
Pedagang daging ayam potong di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Andi mengaku, masih tingginya harga jual ayam potong ini disebabkan per sediaan yang menipis. Menurut dia, stok ayam potong yang berada di kandang cenderung berkurang. Bahkan distribusi terbesar yang biasa dipasok dari wilayah priangan timur, masih tersendat karena padatnya arus balik dari jalur selatan.
“Kalau pagi saya jual Rp40.000- 42.000/kg, dan sudah jauh lebih turun di bandingkan menjelang lebaran. Saat ini hambatannya karena stok di kandang kosong, karena pengiriman dari priangan timur belum optimal. Jalannya masih macet oleh pemudik,” kata Andi. Senada dengan Andi, Pedagang Pasar Johar, Kabupaten Karawang, Mitra juga mengaku, persediaan yang terbatas membuat harga daging ayam yang dijual mencapai Rp60.000/kg.
Namun, kata dia, tingginya harga jual ayam potong tersebut membuat pembeli minim. “Harga bukannya turun setelah Lebaran, tapi malah tambah naik. Hal ini karena pasokan yang kita butuhkan tidak tersedia,” kata dia. Salah seorang ibu rumah tangga, warga Desa Palinggihan, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta Neneng Sriwahyuni, 36, mengaku sangat terbebani dengan mahalnya harga sejumlah sembako di pasar tradisional.
Dia menyebutkan, berakhirnya Hari Raya Idul Fitri ternyata tidak membuat harga kebutuhan pokok ikut turun, malah semakin tinggi. “Kalau menjelang lebaran harga kebutuhan pokok mahal mungkin bisa dimaklumi. Tapi jika terus terusan seperti ini, jelas siapa yang tidak terbebani,”cetus ibu tiga anak ini. Sementara itu, Iis Sumiati, 52, juga mengaku, kebijakan harga daging sapi yang dilontarkan pemerintah sangat percuma dan tidak berdampak.
Buktinya, harga daging sapi di pasar masih saja di atas Rp110.000/kg. “Regulasi itu hanya sampai di gerbang Istana Negara saja. Sementara di pasar, para pedagang tetap berkuasa. Harga daging sapi sekarang, sama saja dengan tahun sebelumnya, tidak ada yang berubah,” tegas dia.
Humas Persatuan Pasar dan Warung Tradisional (Pesat) Jawa Barat, Yoyo Sutarya mengatakan, persoalan tingginya harga daging ayam tak hanya dipicu oleh meningkatnya permintaan menjelang Idul Fitri. Persoalan mendasar justru berakar pada tata niaga daging sapi di Indonesia yang dinilainya sangat buruk.
“Menjelang lebaran kemarin mencapai harga tertinggi Rp55.000 per kilogram, dan saat ini sudah turun di kisaran Rp42.000-45.000 per kilogram. Namun permasalahan melambungnya daging ayam potong bukan hanya urusan permintaan yang tinggi, namun karena mekanisme permainan harga di tingkat peternak yang terlampau tinggi,” ujar Yoyo.
Dia menyebutkan, tata niaga daging ayam saat ini memang sudah dimonopoli pihak Penanam Modal Asing (PMA). “Permainan” harga tersebut melalui pengaturan harga DOC dan pakan yang tinggi, sehingga harga akhir di tingkat pedagang kian melambung. Ironisnya, keberadaan pedagang rakyat mandiri kini sudah semakin punah, karena 80 persen per dagangan daging ayam potong di Tanah Air sudah didominasi PMA.
Sementara di Jabar, pedagang rakyat mandiri hanya tersisa dua asosiasi, yakni di Tasikmalaya serta Bogor. “Pada 26 Agustus 2015 antara pengusaha, pedagang dan pemerintah sudah sepakat bahwa harga tertinggi di tingkat peternak dikunci di angka Rp21.000/kg maksimal. Kalau ada yang melebihi akan ditindak. Namun buktinya, pedagang terpaksa harus membeli di peternak di harga Rp24.000. Praktis daging ayam di pasaran menjadi sangat mahal,” ungkap dia.
Dengan skema penetapan harga maksimal Rp21.000 per kg di peternak, pihaknya sudah menakar untuk harga daging ayam potong yang paling ideal antara Rp30.000Rp34.000 per kg. Namun dengan sengkarut pengaturan harga yang terjadi saat ini, pedagang pun tak bisa membendung fluktuasi harga yang kini semakin tak terkendali.
“Seperti halnya daging sapi, kami meminta Presiden Jokowi atau pemerintah segera turun tangan membenahi tata niaga daging ayam di Tanah Air. Kalau daging sapi bisa dikeluarkan subsidi, artinya ayam juga bisa diberlakukan hal yang sama. Hal yang paling penting lagi, monopoli PMA harus ditertibkan karena hal ini yang mendorong harga semakin sulit dikendalikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia Sukarmi mengatakan, terlalu panjangnya sistem dan mata rantai distribusi serta logistik menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab melambungnya harga jual berbagai komoditi di Tanah Air. Menurut dia, panjangnya mata rantai itu sepertinya menjadi peluang bagi sekelompok pihak untuk menguasai pasar alias kartel.
Dia mengungkapkan, sampai saat ini di Indonesia, kuat dugaan banyak pelaku kartel. Kartel-kartel itu bergerak dan menguasai pasar beragam sektor serta komoditas. Misalnya, kartel perdagingan. “Memang benar. Tidak tertutup kemungkinan panjangnya mata rantai distribusi dan logistik serta tidak optimalnya tata niaga dapat menjadi salah satu penyebab munculnya kartel di Indonesia,” tandas Sukarmi.
Sukarmi menyatakan, praktik monopoli sangat merugikan masyarakat. Sebagai contoh, sistem kartel daging ayam. Permainan itu bisa dilihat dari harga jual pada level peternak sangat murah. Namun, harga di pasar sangat tinggi. “Pada daging ayam, kartel-kartel itu menguasai pendistribusiannya. Bahkan, sangat mungkin, mereka pula yang mengatur harga jual pada level pasar. Karenanya, sangat mungkin kartel-kartel itu menguasai penjualan pakan, yang harganya mahal karena mayoritas produk impor.
Meski demikian, tegasnya, berkenaan dengan sangsi denda, pihaknya mengajukan usul kepada pemerintah untuk mengamandemen pasal tentang sangsi denda bagi praktik kartel. Pasalnya, nilai denda Rp25 miliar jauh lebih kecil daripada keuntungan kartel-kartel itu nilainya bisa mencapai triliunan rupiah. “Pastinya, perlu ada sinergitas seluruh pihak untuk menyikapi permasalahan ini. Kami pun berharap pemerintah lebih intens lagi melakukan pengawasan,” ujar dia.
Keinginan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang fokus menertibkan dugaan kasus kartel ayam oleh 12 perusahaan produsen ayam di Tanah Air mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat. Kepala Disperindag Jabar, Hening Widiatmoko mengatakan, dominasi kartel yang terjadi di Tanah Air harus segera diatasi pemerintah pusat. Sehingga tata niaga daging bisa terkendali.
Menurut dia, sesuai penyelidikan, sejumlah perusahaan produsen dengan sengaja memusnahkan parent stock (ayam induk), agar day old chick (bibit ayam) pasokannya berkurang. Dengan strategi tersebut, alhasil harga ayam potong di pasaran semakin terdongkrak. “Ini harus segera tuntas dan menghasilkan kebijakan baru demi memperbaiki tata niaga daging ayam. Kita tunggu saja sampai tuntas dan apa langkah selanjutnya dari KPPU,” kata Hening Widiatmoko.
Dia mengiyakan komoditas daging ayam memang rentan mengalami gejolak harga di pasar. Bahkan gejolak tersebut ikut memengaruhi harga komoditas lainnya, seperti telur ayam ras. Keadaan ini, kata dia, cukup menyulitkan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), dalam upaya menciptakan stabilitas harga komoditas di pasaran. Seperti halnya daging sapi, daging ayam juga tergolong komoditas yang kerap mengalami fluktuasi harga.
(Raisa Adila)