JAKARTA - Bank DBS Indonesia menargetkan pertumbuhan pendapatan bisnis konsumer sebesar 18% (year on year) pada tahun ini, atau lebih moderat daripada realisasi pertumbuhan pendapatan selama 2016 yang mencapai 62% (yoy).
Bisnis pengelolaan dana nasabah kaya (wealth management) yang memegang 49% lini konsumer pun hanya ditargetkan tumbuh 18%(yoy), padahal pada tahun 2016 wealth management DBS terangkat 44% (yoy) atau sebesar Rp13,1 triliun.
Direktur Konsumer DBS Wawan Salum di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa ketidakpastian ekonomi global dan juga prospek pemulihan ekonomi dalam negeri membuat DBS tidak ingin mematok target bisnis konsumer yang lebih agresif.
Menurut Wawan, target pertumbuhan pendapatan konsumer sebesar 18% sudah mencerminkan akselerasi kencang dari perbankan yang terafiliasi dengan kantor induk di Singapura tersebut.
"Pertumbuhan 18% jika dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan 5,2% itu sudah tinggi. Bank Indonesia dan OJK juga hanya memasang target tumbuh 12%," ujarnya.
"Pada tahun 2017 juga faktor ekonomi masih tidak menentu, dan juga global ekonomi seperti masih adanya dampak Brexit, dan ancaman nilai tukar," tambahnya.
Penopang pertumbuhan bisnis konsumer tersebut adalah wealth management, dana pihak ketiga yang ditargetkan tumbuh 14%dari Rp17,2 triliun per akhir 2016, dan kredit tanpa agunan.
Pada tahun 2017, DBS juga mulai coba mendongkrak pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) yang baru diluncurkan pada tahun 2016. Target DBS, KPR dapat tumbuh 50%, namun Wawan enggan menyebutkan berapa realisasi KPR pada 2016.
DBS pada tahun 2017 juga bersiap mengoptimalkan infrastruktur Teknologi Informasi untuk mengoptimalkan penambahan bisnis ritel dan wealth management setelah mengakuisisi segmen tersebut dari Bank ANZ. Produk akuisisi DBS terhadap bisnis ritel dan wealth management ANZ akan mulai diluncurkan per awal 2018.
Secara keseluruhan, berdasarkan laporan keuangan DBS per akhir Desember 2016, laba bersih DBS (tahun berjalan) sebesar Rp689 miliar dan aset terkumpul Rp66,6 triliun.
(Dani Jumadil Akhir)