JAKARTA - Pendar Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita terbukti sulit dihapus dari kehidupan sejarah bangsa Indonesia.
Secara umum, sejarah Kartini mengajarkan tentang gerakan sosial yang mencoba keluar dari keseharian dan kejumudan. Arah gerakannya dikemas untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu yang berbeda, lebih khususnya gerakan ini tertuju bagi kaum perempuan. Upaya yang paling dikenang tentu saja terlihat ketika Kartini berusaha merekonstruksi daya tawar perempuan, dengan meningkatkan pember dayaan dan kesetaraan gender dalam berbagai hal strategis.
Warisan pemikiran Kartini bertujuan akhir mendorong kaum perempuan agar lebih ber peran sebagai agent of change dalam poros pembangunan bangsa. Anekdot kultur Jawa pada masa itu memang seakan-akan mendikotomi peran perempuan sebatas macak (berdandan), masak (memasak), dan manak (me lahirkan anak), sehingga ada anggapan pendidikan dan akses pemberdayaan bagi kalangan wanita tidak perlu terlampau tinggi. Namun, Kartini meng anggap posisi perempuan akan lebih bernilai strategis lagi jika proses kehidupannya direvolusi.
Tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarganya, perempuan juga bisa menjadi tulang punggung bangsa di berbagai posisi strategis dengan bekal karakternya yang lazim dengan kelembutan, ketenangan, keuletan, jiwa yang kuat, serta daya tampung ingatannya yang kadang dianggap lebih baik dari kaum pria. Selain itu, unsur pendidikan menjadi penting karena dari rahim para perempuan ini pula, akan ter lahir generasi yang akan menjadi aktoraktor pergerakan di masa mendatang.
Perempuan sering pula disebut sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak. Dengan semakin meningkatnya kualitas kaum perempuan di Indonesia, Kartini berharap tuju an untuk mewujudkan kejayaan bagi bangsa ini akan bergerak lebih cepat. Dari dokumen-dokumen sejarah yang telah penulis pelajari, Kartini sedikitnya mewariskan tiga pemikiran utama yang seharusnya menjadi pedoman dasar pergerakan.
Memang secara alami, tiga pemikiran ini lebih dikhususkan bagi pergerakan kaum wanita masa kini, namun tidak menutup kemungkinan juga bisa disadur bagi kami kaum lelaki.
Pertama, Kartini menitipkan pentingnya semangat belajar yang tinggi melalui aktivitas membaca dan menulis. Penguasaan beragam bahasa asing juga menjadi penting untuk menciptakan kemampuan literasi dan mem buka ruang inspirasi yang lebih besar.
Kartini sendiri sudah memb ukti kan bahwa dengan kemampuan menulis dan daya nalarnya yang kuat, beliau mampu menjadi bagian transformasi sejarah Indonesia yang sulit tergerus perubahan zaman.
Kedua, Kartini menganggap bahwa tingkat pendidikan akan turut membangun tingkat kepercayaan dan keterbukaan diri terhadap hal-hal baru yang bermuatan positif.
Berkat pengalaman hasil mengenyam pendidik an formal di era penjajahan Belanda, Kartini merasa lebih mampu mengolah nalar kritis sekaligus mengelola keniscayaan dalam perbedaan pandangan. Pesan ini masih sangat relevan hingga saat ini yang kadang kala perbedaan latar belakang ideologi dan status sosial yang seakan dibiarkan kian meruncing. Seharus nya dengan akses pendidikan yang sudah lebih terjangkau, kita semuanya juga semakin arif merespons gejalagejala yang dapat menimbulkan konflik.
Dan warisan yang ketiga, ada pesan yang mendalam bahwa kita perlu terlibat aktif untuk berkontribusi secara sosial. Beberapa akses pengembangan diri harus dibuka untuk meningkatkan kemandirian masyarakat. Namun, kemandirian ini tidak akan bermakna lebih luas, jika tidak dikelola dalam satu kerangka cita-cita bersama. Dan, sekarang mari kita lihat sudah sejauh mana cita-cita Kartini telah ditegakkan di permukaan bumi pertiwi ini.
Dari Data dan Indikator Pembangunan Gender Indo nesia (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), selama satu dasawarsa terakhir Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dalam tren yang cenderung terus meningkat. Dalam kurun waktu 2004-2013, IPG nasional mengalami kenaikan dari skor 63,94 menjadi 69,57. Sedangkan IDG dalam kurun waktu yang sama berhasil meningkat signifikan dari skor 59,70 menjadi 70,46.
Indikator pendidikan juga kian mening kat misalnya dari segi indikator angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf. Bahkan dari sisi kesehatan yang diukur dari angka harapan hidup, kaum perempuan tercatat lebih baik daripada kaum laki-laki.
Namun, progresivitas variabel pembentuk IDG selama 2009-2014 cenderung tidak signifi kan, dimulai dari keterlibatan perempuan di parlemen yang hanya meningkat tipis dari 18,00% menjadi 18,04%, sum bangan perempuan dalam pen dapatan kerja yang sedikit membaik dari 35,01% menjadi35,17%, bahkan peran perem puan sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, dan teknisi justru menurun dari 45,48% menjadi 44,82%. Namun jika dibandingkan dengan negara lain, jumlah wanita karier di Indonesia menurut catatan Grant Thornton (2016) menjadi yang tertinggi keenam di dunia untuk jabatan senior di perusahaan yang dipegang perempuan.