JAKARTA - Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta (BPRD) mengungkap adanya pemilik kendaraan mewah yang belum bayar sejak 2012. Alasan keterlambatan bayar pun menarik karena pemiliknya ternyata khilaf.
Kepala BPRD Edi Sumantri mengatakan, dalam menyelesaikan ketidakpatuhan pembayaran pajak oleh para pemilik kendaraan mewah, pihaknya mencoba untuk berpikir positif. BPRD menganggap ketidakpatuhan tersebut karena adanya kesibukan pemilik kendaraan mewah tersebut.
Baca juga: TERLALU! 1.700 Mobil Seharga Lebih dari Rp1 Miliar Belum Bayar Pajak
"Itu karena kekhilafan, karena kesibukan mereka. Kami positif berpikir mereka khilaf karena kesibukan," ujarnya di kantor BPRD DKI Jakarta, Rabu (23/8/2017).
Atas alasan itu, BPRD pun memberikan kesempatan pemilik kendaraan mewah untuk segera membayar pokok pajaknya tanpa bunga sampai dengan 31 Agustus 2017.
"Kami saat ini tidak mengenakan denda. Jadi kita kasih waktu sejak 19 Juli sampai dengan 31 Agustus. Jika tidak maka sanksi maksimal dengan 48%,"tuturnya.
Baca juga: Kacau! Ada Pemilik Ferrari yang Menunggak Pajak Sejak 2012
Dia pun menerangkan, sanksi tersebut berupa bunga yang besaran 2% per bulan sampai 24 bulan atau menjadi 48% jika terlambat membayar. Besaran pajaknya diambil dari tarif dan dikalikan nilai jual kendaraan bermotor.
Misalnya, nilai jual kendaraan bermotor mewah seperti Ferari harga Rp10 miliar dengan pajak 2%, maka yang harus dibayarkan tiap tahun Rp200 juta (2% x Rp10 miliar). Jika si pemilik Ferrari menunggak selama 5 tahun berarti jumlah yang dibayarkan pajaknya sebesar Rp1 miliar ditambah denda 48% menjadi Rp1,480 miliar.
"Jadi kalau hanya bayar sampai 31 Agustus, maka hanya bayar pajak pokoknya saja. Sanksi bunga kita hapus. Ya nanti bisa berhitung nilai jualnya berapa.,"tuturnya.
Baca juga: Jangan Hanya Andalkan Keterbukaan Informasi, Kejar Pajak dengan Maksimalkan PPN
"Sampai 31 ini kita berikan kesempatan melunasi pajak dengan kesadaran sendiri. Oleh karena itu kami undang para ketua asosiasi pemilik kendaraan mewah agar melakukan pembayaran, dengan insentif pemutihan berupa sanksi dihapus," sambungnya.
(Rizkie Fauzian)