JAKARTA - Sudah banyak kisah inspirasi para CEO yang memulai kariernya dari nol. Salah satunya adalah Henry Sy, yang berjuang begitu berat dalam membangun kariernya.
Henry tidak memiliki kesuksesan dalam semalam. Dia harus mendaftarkan dirinya ke sekolah, mengganti namanya, putus sekolah, ditambah banyak hal buruk lain yang terjadi dalam hidupnya. Namun, salah satu hal yang pasti adalah dia tidak menyerah.
Percaya atau tidak, Henry Sy tidak lahir dalam keluarga kaya. Karena ingin lepas dari kemiskinan, Henry mengikuti ayahnya ke Filipina hanya untuk mengetahui bahwa keadaannya di negara asing juga menyedihkan.
Bertekad untuk menjadi sukses, Henry bekerja keras siang dan malam untuk memenuhi kebutuhannya. Dia memulai bisnis toko kelontong kecil yang telah membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sy berjuang keras hidup di negara asing. karena dia harus belajar bahasa Inggris.
Saat datang ke Filipina, usia Sy masih relatif muda, hanya 12 tahun, dan bekerja di toko ayahnya lebih dari 12 jam setiap hari untuk membantunya. Toko tersebut terletak di Echague St, yang sekarang adalah Carlos Palanca Sr. St. di Quiapo, Manila.
Baca juga: RAHASIA SUKSES: Butuh 39 Tahun Elizabeth Duke Ubah Nasib dari Teller Bank Jadi CEO Wells Fargo
Dia melakukan beberapa penjualan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, menghabiskan banyak waktu di toko sehingga dia tidak punya waktu untuk pergi keluar dan bermain dengan teman di lingkungannya.
Sayangnya, saat perang Dunia ke II pecah, tokonya dijarah dan dibakar. Akibatnya, dia harus membeli dan menjual apa yang bisa dijual saat itu agar keluarganya bisa bertahan.
Perang dunia ini pun memberinya pelatihan untuk stamina bisnisnya. Bahkan, dia pernah nyaris tewas, karena terkena pecahan saat tengah menjual barang. Untungnya, dia segera dibawa ke rumah sakit oleh teman baiknya, jika tidak dia bisa saja mati kehabisan darah.
Untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, setelah perang dia menjadikan temannya partner di toko sepatu. Kemitraan berlangsung selama lebih dari 40 tahun sampai toko sepatu tersebut harus direnovasi.
Setelah perang berakhir pada tahun 1945, dia berkelana menjual sepatu Amerika yang diimpor. Dia kemudian melihat peluang membuka toko sepatu, dan tak lama kemudian ia mengelola tiga toko sepatu dalam kemitraan dengan teman-temannya.
Baca Juga: OKEZONE WEEK-END: Cerita Howard Schultz Dirikan Starbucks, Sempat Ditolak dan Pilih Resign
Di awal tahun 50an, dia pun mencari lebih banyak cara untuk meningkatkan pendapatannya. Dia mempelajari pasar dan memutuskan untuk tampil beda. Sementara pria muda lainnya pergi ke AS untuk melanjutkan pendidikan tinggi, dia melakukan perjalanan panjang ke Pantai Timur, dan pulang ke rumah dengan banyak ide merchandising.
Dia pun menjual lebih banyak sepatu, asesoris, dan barang kulit, dengan harapan bisa mengubah cara produsen sepatu melihat industri ini. Merasakan banyak kesempatan, dia memutuskan untuk membuka SHOE MART, "SM", toko sepatu ber-AC pertama yang merchandise shoes dalam format yang sangat mengundang dan berkelas.
Dengan keberhasilan toko itu, dia melanjutkan untuk membuka lebih banyak toko sepatu, tapi ia tidak bisa mendapatkan cukup banyak pemasok. Pasalnya, banyak produsen sepatu saat itu tidak mengerti gagasan yang dia jual.
Mereka pun tidak mau memberikan kepadanya volume yang dia butuhkan, dan karena keterbatasan itu, dia sedikit demi sedikit beralih ke pakaian jadi, dan kemudian barang dagangan lainnya dengan bantuan istrinya.
Baca Juga: RAHASIA SUKSES: Wanita Cantik 24 Tahun Jadi Miliarder Termuda China, Apa Kuncinya?
Salah satu kunci kesuksesannya, adalah karena dia terus belajar dari para pelanggan, pemasok, dan karyawannya. Penelitian di lapangan ini memberinya cukup kepercayaan untuk memperluas rantai department store.
Dia pun membuka toserba pertama pada tahun 1972, dua bulan setelah Martial Law diumumkan. Bisnisnya mulai lamban, tapi terus berkembang. Selama masa darurat militer, dia terus membuka lebih banyak toserba, sampai pada titik di mana dia tidak bisa mendapatkan tempat yang dia butuhkan di pusat perbelanjaan yang ada selama masa itu.
Melihat masalah ini dalam jangka panjang, dia pun mulai berpikir untuk berinvestasi di properti mal, yang berpola setelah pusat perbelanjaan di pinggiran kota, setelah dia mempelajari selama beberapa waktu.
Ketika dia memulai pembangunan mal pertama kami pada tahun 1983, Filipina berada di tengah moratorium hutang dan mengalami inflasi yang sangat ketat. Penurunan ekonomi selanjutnya diperparah dengan pembunuhan Ninoy Aquino.
Banyak bankir meramalkan properti milik Sy akan tumbang, karena dia merupakan pendatang di daerah tersebut. Meski demikian, Sy tidak terpengaruh dengan kritik tersebut. Bersenjatakan tekad dan optimisme, dia bertahan dan membuka department store dan supermarket pada 1985.
Baca Juga: RAHASIA SUKSES: Bisnis Nyonya Meneer Berawal dari Peralatan Dapur
Pada saat yang hampir bersamaan, perusahaan sepatunya Shoemart Makati, menghadapi pemogokan. Sy hampir saja menyerah, jika karyawan dan pelanggannya tidak mendorong dia untuk bertahan. Pada saat itu, dia memutuskan bahwa gangguan pemogokan bahan baku seharusnya tidak mengalahkannya atau menguranginya sasarannya.
Sejak saat itu, dia pun semakin bertekad melanjutkan bisnis yang sudah ada. Sejalan dengan itu, dia pun mulai memperluas pembangunan mal. Sayangnya, ekspansi itu bukan tanpa kesulitan. Saat membangun Sta. Mesa dan Megamall, dia dihadapkan pada penundaan pembangunan karena kekurangan semen dan kudeta pada 1989.
Bahkan, ketika krisis Asia 1997 terjadi, dia tengah merencanakan ekspansi malnya, termasuk Mall of Asia, yang kemudian diperkirakan menjadi mal terbesar di kawasan ini. Merasakan dampak tsunami dari krisis yang meluas di wilayah ini, dia pun memutuskan untuk mengubah rencananya. Dia menunda pembukaan Mall of Asia, dan melanjutkan pembukaan mal lainnya.
Menurutnya, untuk menjadi sukses seorang pengusaha harus menemukan kesempatan, bukan menunggu kesempatan. Krisis dan kelemahan menunjukkan seseorang bisa mencari peluang. Mengubah masalah menjadi peluang bisa membawa keuntungan yang baik. Kemakmuran dan pertumbuhan datang hanya pada bisnis yang secara sistematis memanfaatkan potensinya dan secara sistematis mengoptimalkan kinerjanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)