JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pakar perpajakan Yustinus Prastowo di Gedung DPR RI. Dalam rapat ini, Yustinus memberikan pandangan apa saja yang harus diperhatikan dalam penyusunan aturan RUU Pertembakauan tersebut.
Yustinus mengatakan, industri tembakau yang menjadi bahan utama rokok memang sangat berbahaya bagi kesehatan, namun di lain sisi juga sangat dibutuhkan sehingga dia menilai aturan ini harus dipertimbangkan dengan baik. Artinya, kesejahteraan petani dan industri harus sama-sama di lihat perhatikan.
Baca Juga: Rapat di DPR soal RUU Pertembakauan, Ini Permintaan Pengusaha
"Ini ada beberapa hal yang jadi tantangan cukai, terutama karena tekanan fiskal pada industri tembakau. Ini industri yang dibenci dan dirindukan. Kalau bicara kesehatan, shut down sunset. Kalau penerimaan negara, ini primadona. Ini dilemanya," ungkap Yustinus di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Menurutnya, selama ini pemerintah belum fokus dalam pengendalian tembakau, antara apakah melihat unsur kesehatan, ketenagakerjaan atau penerimaan. Dia menilai belum ada konsisten yang terlihat dari Pemerintah.
"Pemerintah belum konsisten. Ujung-ujungnya jatuh ke penerimaan negara karena ini paling penting," jelasnya.
Baca Juga: Pembatasan Impor Tembakau Bisa Dilakukan, Begini Syaratnya
Dengan kondisi saat ini, dia mengapresiasi inisiatif DPR untuk memfokuskan UU tembakau agar lebih tersusun. Termasuk untuk pembatasan impor yang bisa merugikan industri tembakau dalam negeri. Yustinus pun memberikan berapa poin kesimpulan dalam penyusunan RUU pertembakauan tersebut.
"Pembatasan tembakau impor yang tidak melihat realita belum mencukupi kebutuhan domestik berdasarkan beberapa penelitian karena kualitas belum bagus, varietas belum memenuhi itu akan berbahaya bagi perindustrian nasional," jelasnya.
Baca Juga: Sedih, Musim Hujan Buat Harga Tembakau di Temanggung Turun
Selain itu, kapasitas produksi tembakau lokal baik dari jumlah lahan dan petani terus menurun, sehingga pembatasan tembakau impor enggak mampu meningkatkan produksi dalam jangka pendek. Sedangkan kalau industri yang dipaksa tutup dan perokok tidak berkurang maka yang terjadi adalah dua, ilegal atau industrinya shut down.
Selain itu, dia menilai pembatasan impor melalui kebijakan tarif 60%, dan cukai 200% ini enggak sesuai dengan UU cukai, jadi enggak mungkin. Hanya menguntungkan China dan India, dan berbenturan UU kepabeanan.
"Terakhir, saya mengapresiasi inisiatif ini," tukasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)