Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

IMF dan Sistem Ekonomi Indonesia

Koran SINDO , Jurnalis-Senin, 05 Maret 2018 |11:40 WIB
   IMF dan Sistem Ekonomi Indonesia
Ilustrasi: Foto Okezone
A
A
A

Sistem Eksisting

Jika berbicara mengenai sistem ekonomi, dalam kondisi eksisting dunia seakan terbelah menjadi dua kutub besar dalam gaya perekonomian, yakni yang menganut sistem ekonomi kapitalis (liberal) dan penganut sosialis.

Sebagian negara lainnya mengaku menganut campuran keduanya (sistem ekonomi campuran). Namun penulis berani menjamin tidak ada satu negara pun yang mampu betul-betul berdiri di tengah-tengah keduanya.

Secara umum, perbedaan dalam implementasi lebih banyak dipengaruhi tata nilai, perilaku masyarakat, dan norma yang berlaku di negara tersebut. Memang tidak ada yang salah ketika sebuah negara memilih salah satu, misalnya menjadi kapitalis, sosialis, atau bahkan menggabungkan kedua-duanya. Karena semua sistem masing-masing menawarkan ciri khas yang bisa dinilai kelebihan dan/ataupun kelemahannya.

Cara sederhana untuk membedakannya terletak pada seberapa besar peran pemerintah vs pasar (pihak non-pemerintah/swasta) mengelola sumber daya yang dimiliki. Negara kapitalis biasanya dicorakkan pada sektor swastanya yang sangat dominan dalam pergerakan ekonomi, sebaliknya dalam sistem sosialis peran sektor swasta terbilang minor karena pemerintah memegang kendali yang teramat besar dalam kebijakan perekonomiannya. Seiring dengan dinamika yang terus berjalan, mungkin kini tidak ada lagi negara yang secara powerful menjalankan sistem kapitalis atau sosialis.

Amerika Serikat yang dulu getol mengampanyekan liberalisme pada kenyataannya sistem perekonomiannya mulai diintervensi pemerintah secara struktural. China yang dulu dikenal sebagai simbol sosialisme juga semakin lebar membuka keran investasi asing untuk ikut mengembangkan perekonomian negaranya. Karena itu bisa dibilang kini tidak ada lagi negara yang sifatnya kaku dalam sistem perekonomian.

Secara filosofis, ada baiknya jika sistem yang dianut berbasis tata nilai lokal yang memang sudah dikenal dan sedang dijalani oleh masyarakat. Sebuah sistem tidak bisa begitu saja dipaksakan meskipun ketika diterapkan di negara/wilayah lain bisa memberikan kemajuan.

Bagi masyarakat yang pada umumnya masih memiliki budaya gotong-royong, akan sulit dipaksa menjalankan sistem kapitalis yang cenderung bertarung satu sama lain. Kemungkinan terbesarnya mereka justru akan “hancur” karena konsep persaingan yang tidak siap dihadapi. Sama halnya dengan mereka yang terbiasa hidup dalam persaingan, akan sulit dipaksa untuk hidup ala sosialis yang cenderung “sama rasa sama rata”.

Ketika persaingan yang selama ini membuat mereka terus bergerak menjadi yang terbaik mulai mengendur, mereka akan kesulitan untuk mengoptimalkan efforts ekonominya.

Ekonomi kita sering di sebut-sebut lebih berdasarkan pada ajaran Pancasila ketimbang menganut sistem-sistem yang ada di dunia. Entah di mana letak perbedaannya dengan sistem ekonomi campuran, yang jelas roda perekonomian kita secara substansi memiliki roh yang hampir sama dengan sistem campuran.

Di dalamnya kebebasan individu untuk memaksimalkan utilitasnya masih diberi ruang dan pemerintah juga melindungi kaum-kaum yang terbilang marginal dalam perekonomian de ngan berbagai kebijakan sosial (social insurance).

Saat ini persoalan pembangunan di lingkup ekonomi sudah sangat jelas berada di pelupuk mata. Misalnya persoalan ketimpangan (indeks gini dan antarwilayah) serta degra dasi lingkungan yang cukup besar.

Selain itu capaian tingkat pertumbuhan ekonomi kita akhirakhir ini tidak terlalu menggembirakan bila dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya dan ini semakin kompleks saat berlaku era desentralisasi di mana tiap daerah lebih berorientasi pada kepen tingan dae rah masing-masing, tidak melihat dampaknya pada daerah sekitarnya.

Pertanyaannya, apakah permasalahan besar itu bisa diselesaikan dengan merombak sistem ekonomi yang ada? Penulis lebih memilih konteks substansial ketimbang berdebat soal labelisasi sistem yang seharusnya diterapkan di Indonesia.

Terlepas apa pun dogmanya, jika tidak sesuai dengan karakteristik Indonesia yang khas dan multikultural, itu semua (diskusi atau perdebatan) akan menjadi sia-sia. Kita lebih baik memusatkan energi kita untuk segera menuntaskan beragam persoalan struktural. Misalnya terkait upaya untuk menjaga kinerja sumbu utama pertumbuhan ekonomi kita yang berasal dari konsumsi, investasi, dan ekspor agar tetap bergairah.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement