JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah meluncurkan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) final untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar 0,5%. Angka tersebut mengalami penurunan dari pengenaan pajak sebelumnya yang sebesar 1%.
Penetapan tersebut dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Revisi aturan tersebut mengatur tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Jokowi menyebut jika aturan ini sengaja dibuat sebagai langkah keberpihakan pemerintah kepada pelaku UMKM. Sebab dengan aturan ini, pelaku UMKM didorong untuk bisa naik kelas.
Menanggapi hal tersebut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Muhammad Ikhsan Ingratubun mengatakan, pihaknya menyambut positif upaya pemerintah untuk menurunkan tarif PPh final tersebut. Namun penurunan ini diyakini belum cukup untuk membuat pelaku UMKM bisa naik kelas.
Sebab, dalam aturan tersebut terdapat satu poin yang dinilai memberatkan pelaku UMKM. Point tersebut adalah harus membuat pembukuan laba dan rugi usahanya.
"Kita sambut baik PPh itu turun dari 1% menjadi 0,5%. Tapi itu tidak cukup untuk meningkatkan kelas UMKM, terlebih di aturan itu masih ada embel-embel kita harus buat pembukuan, ini banyak UMKM belum mampu," ujarnya di Jakarta, Rabu, (27/6/2018).
Oleh karena itu lanjut Ikhsan, perlu langkah lanjutan yang diberikan kepada pelaku UMKM. Seperti dengan membuat form aplikasi sederhana untuk bisa di isi oleh pelaku UMKM.
Selain itu lanjut Ikhsan, pemerintah juga perlu memberikan satu insentif kepada pelaku UMKM. Tujuannya agar para pelaku UMKM diberikan kemudahan untuk mengakses permodalan ke perbankan.
"Selama ini kalau kita minta modal ke perbankan yang utama bukan adanya pembukuan atau tidak. Tapi persoalan jaminan. Jadi mungkin bisa saja usaha mikro itu enggak usah ada jaminan," ucapnya.
Selain itu, para pelaku usaha mikro juga seharusnya bisa diberikan pengecualian dengan pemberian gari yang lebih rendah dibandingkan kelas menengah dan atas. Karena saat ini, semua hampir dipukul rata naik itu pedagang kaki lima maupun pedagang yang berjualan di ruko-ruko dikenakan tarif yang sama.
Sebagai perbandingan adalah pengecualian terhadap pengusaha kecil yang berlaku di China. Di sana bagi pelaku usaha mikro alias kecil dengan omset Rp60 juta dikenakan tarif 0%. "Kenapa enggak ikut China, untuk omzet Rp60 juta per bulan. Kalau di China itu mikro kecil yang setara Rp69 juta per bulan atau Rp720 juta per tahun 0% nanti di 2020," tegasnya.
(Dani Jumadil Akhir)