JAKARTA - Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan penentu tercapainya kedaulatan energi. Indonesia pun memiliki peluang membuat kedaulatan tersebut karena memiliki sumber energi terbarukan berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut dan panas bumi.
Meski sumber energi terbarukan banyak, pemanfaatannya belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Salah satu kendala besar pengembangan EBT adalah mahalnya teknologi.
Menurut Praktisi Bisnis Pembangkit Listrik Handoko, energi primer saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batu bara. Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit.
Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga. Tetapi bagaimanapun, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya.
“Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batu bara, juga akan turut mengerek harga jual listrik. Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD100 per barrel misalnya pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam,” terangnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Dia mengatakan, sebenarnya sudah cukup lama Indonesia menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal.
Tak hanya itu, sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 giga watt (Gw). Begitu juga posisi Indonesia yang berada di area ring of fire Asia Pasifik, yang menjadi tempat bertemunya sejumlah gunung berapi dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat.
“Untuk harga jual listrik, PLTU batu bara memang paling murah. Saat ini PLN bisa membeli dengan harga USD5 cent/kWh dari Independent Power Producer (IPP) tetapi harga batubara fluktuatif dan juga tidak ramah lingkungan. Pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses. Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi,” ujarnya.
(feb)