JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun 2018 terus mengalami tekanan, hingga sempat ke level Rp14.500 per USD. Melansir Bloomberg Dollar Index, Selasa (31/7/2018) pada perdagangan spot exchange rupiah ditutup membaik ke level Rp14.414 per USD.
Tekanan pada kurs rupiah ini pun disebabkan faktor eksternal yakni kebijakan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate (FFR) yang diprediksi hingga 4 kali tahun ini. Selain itu kondisi perang dagang antara AS-China yang kian memanas juga turut memukul kurs rupiah.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menyatakan akan terus mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global tersebut.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, sejak awal tahun hingga hari ini, rupiah terdepresiasi 6% ytd. Namun, angka ini dikatakan lebih rendah dari pelemahan mata uang negara berkembang lainnya.
"Ini lebih rendah dibandingkan pelemahan mata uang negara lainnya, seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brazil, dan Turki," sebut Perry dalam konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (31/7/2018).