JAKARTA – PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) menyiapkan belanja modal atau capital expenditure (capex) hingga USD1 miliar. Belanja modal itu akan digunakan untuk mendanai pembangunan pembangkit litrik dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) atau renewable energy dengan kapasitas 500 megawatt (MW) hingga 2023.
Managing Director PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA), Lasman Citra mengatakan, pendanaan capex akan dipenuhi dalam bentuk pinjaman sebesar 70%, sisanya 30% dari kas internal.
"Untuk memenuhi kebutuhan investasi USD1 miliar, kami butuh tambahan ekuitas USD200 juta - USD300 juta," ujarnya dikutip dari siaran pers, Rabu (15/8/2018).
Sementara untuk kebutuhan investasi tahun ini Terregra Asia Energy sudah mendapatkan persetujuan pemegang saham mencari pendanaan eksternal hingga Rp500 miliar. TGRA sendiri sudah melakukan pembicaraan dengan sejumlah bank asing yang concern terhadap pengembangan renewable energy.

Dia mengungkapkan, perusahaan juga berencana melakukan penerbitan saham baru (right issue) pada tahun depan. Sejauh ini, Terregra masih mengandalkan modal sendiri termasuk dana hasil initial public offering (IPO) yang digelar pada Mei 2017 lalu. Saat itu, perusahaan meraih dana segar Rp110 miliar atas penjualan 20% saham di lantai bursa.
Khusus bisnis solar power, dijelaskan Lasman, perseroan fokus di Indonesia Timur dalam bentuk proyek rooftop. Skema bisnis ini business to business, dimana perangkat dipasang langsung ke user seperti hotel, vila maupun perkantoran. Tarif yang dibebankan tergantung jumlah pemakaian konsumen. Adapun bisnis rooftop peusahaan dioperasikan oleh anak usaha bernama PT Ananta Surya Kencana (ASK).
Hingga akhir 2018 menurut Lasman, ASK akan memasang rooftop dengan kapasitas 2Mw-3 MW. Sementara sekitar 15 lokasi sedang dalam tahap negoisasi pemasangan rooftop.

"Semuanya fokus di Indonesia Timur karena pertimbangan tingkat radiasi matahari yang berbeda hingga 30 persen dibanding bagian Barat Indonesia," kata dia.
Pengembangan EBT dari sumber daya solar power dilakukan Terregra hingga Australia Selatan. Ada lima proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dikembangkan dengan kapasitas masing-masing 5 MW. Untuk setiap proyek, perseroan menggelontorkan investasi sebesar 1,7 juta dolar Australila dan masuk tahap development approval. Lasman mengatakan, izin pengembangan PLTS di Australia relatif tak rumit karena hanya butuh dua izin. Sementara proses konstruksi engineering hanya butuh waktu 6 bulan.
"Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang butuh hingga 30 perizinan,"ungkapnya.
Lasman meyakini, hingga akhir 2018 penjualan perusahaan akan tumbuh sebesar 150%-200%. Target itu menurutnya merupakan lanjutan dari capaian kinerja 2017 dimana pendapatan perseroan tercatat melonjak 243,79% year-on-year (yoy) menjadi Rp37,92 miliar. Sementara laba bersih Rp857,94 juta atau naik 452,26% yoy pada 2017.
(feb)