JAKARTA - Pelemahan nilai tukar Rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Hal ini mengingat adanya sejumlah ketidakpastian global yang menjadi sentimen negatif pada Rupiah.
The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat akan melanjutkan pengetatan moneter dengan naikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) pada September dan Desember, setelah sebelumnya dua kali menaikkan. Di sisi lain, kondisi perang dagang di global juga memicu keperkasaan Dolar AS terhadap seluruh mata uang di dunia.
Krisis keuangan Turki dan Argentina juga berimbas pada negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. Melansir Bloomberg Dollar Index, Rabu (5/9/2018) pukul 10.03 WIB, saat ini kurs Rupiah pada perdagangan spot exchange berada di level Rp14.925 per USD.
Ekonom Indef Bhima Yudistira menyatakan, kenaikan FFR akan memicu terjadinya capital reversal atau pembalikan dana dari modal asing di Indonesia. Hal ini membuat valas kian pergi dari Tanah Air karena imbal hasil US Treasury Securities juga akan naik.
"Sementara neraca perdagangan juga terindikasi melanjutkan defisit. Artinya permintaan valas dalam negeri lebih tinggi dari Rupiah," ujarnya kepada Okezone, Rabu (5/9/2018),
Dalam kondisi demikian, hingga akhir 2018 Rupiah diperkirakan bergerak ke level Rp15.100 per USD. "Sampai akhir tahun Rupiah berada di kisaran RP14.900- Rp15.100 per USD. Jadi harus terus di intervensi BI lewat cadangan devisa dan kenaikan bunga acuan BI," katanya.