JAKARTA - Bank Indonesia menyebut jika pelemahan Rupiah yang terjadi belakangan ini masih aman. Sebab proses suplay dan demand masih tetap berjalan lancar meskipun saat ini nilai tukar Rupiah menyentuh angka Rp15.100 per USD.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan dalam menyikapi pelemahan Rupiah, masyarakat jangan hanya melihat dari levelnya saja. Akan tetapi juga harus melihat Capital Adequacy Ratio (CAR) alias rasio kecukupan modalnya.
Baca Juga: Gubernur BI: Rupiah Rp15.000/USD Jangan Dianggap Kiamat
"Kamu jangan lihat levelnya. Masih aman yang penting suplay dan demandnya masih jalan. Banking aectornya juga kuat, CAR-nya juga di atas 20%," ujarnya saat ditemui di komplek Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Mirza menjelaskan, saat ini kinerja perbankan masih tumbuh bagus. Bahkan kinerja hampir seluruh per akan tumbuh di atas ketentuan minimum yakni 8,5%.
"CAR di semua bank, buku satu sampai buku empat, di atas 20%, jadi strong. Minimumnya 8,5%, kalau pakai risiko minimum 14%. Sekarang semua di atas 20%," ucapnya.
Selain itu lanjut Mirza, dalam menyikapi pelemahan Rupiah seluruh pihak juga harus memperhatikan tren dari volatilitas alias gejolaknya. Menurut Mirza sejak tahun 2013, nilai tukar Rupiah selalu mengalami kenaikan akibat gejolak perekonomian global.
Nilai tukar Rupiah mulanya berkisar di angka Rp10.000 per USD kemudian naik kembali menjadi Rp11.000 per USD pada tahun berikutnya. Lalu naik kembali menjadi Rp12.000 per USD dan Spain pada akhirnya pada hari ini mencapai Rp15.100 per USD.
Baca Juga: Rupiah Tembus Rp15.000/USD, Ini yang Bakal Dilakukan BI
"BI pasti memperhatikan itu. Kalau lihat kurs, jangan lihat angka Rp 15.000-nya, tapi lihat bagaimana volatilitasnya, bagaimana supply dan demand-nya. Kita sudah mengalami volatilitas ini sejak tahun 2013. Dari Rp 10.000 ke Rp 11.000, lalu jadi Rp 12.000, jadi Rp 13.000 per USD," jelasnya.
Pelemahan nilai tukar Rupiah juga harus melihat nilai tukar mata uang asing lainnya terhadap Dolar Amerika Serikat. Sebab menurutnya, bukan hanya Indonesia saja yang mengalami gejolak juga negara-negara lainnya seperti Filipina, Meksiko hingga Brasil yang mengalami tekanan terhadap nilai tukar mata uang.
"Tapi bukan cuma Indonesia, India juga mengalami seperti itu, Filipina, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan. Bahkan negara-negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs. Australia juga," kata Mirza.
"Jadi, yang penting supply dan demand-nya berjalan dengan baik, inflasi terjaga dengan baik. Jadi, jangan terpaku pada level," imbuhnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)