JAKARTA - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce atau RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPSE) ditargetkan segera disahkan pada akhir bulan ini. Setelah sebelumnya diajukan oleh Kementerian Perdagangan dan melalui pembahasan antar Kementerian, saat ini RPP e-commerce dikabarkan sudah siap untuk ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, draf naskah RPP e-commerce tersebut bisa dikatakan belum mengakomodir masukan industri.
Baca Juga: Ekonomi Medsos Punya Peran Besar untuk Pertumbuhan UMKM
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kemenko Perekonomian Rudy Salahuddin menuturkan tidak ada perubahan signifikan dari draf naskah sebelumnya. "Semua isinya sama persis dengan draf yang disampaikan, jadi tidak ada perubahan. Dengan konsumen, enggak ada perubahan. Sama kayak yang terakhir. (Domain .id) tidak diwajibkan permintaannya. Tapi diutamakan. Kata-katanya diganti diutamakan," jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (14/11/2018).
Rudy pun menegaskan bahwa saat ini RPP e-commerce yang telah bergulir sejak 2015 itu sudah siap untuk diterapkan. “Sudah selesai, tinggal menunggu waktu saja. Mestinya di November ini sudah terbit," ujar Rudy.
Saat ini RPP e-commerce rencananya akan dikembalikan lagi kepada menteri terkait untuk diparaf. Setelah itu, RPP tersebut akan dikembalikan lagi ke Sekretariat Negara untuk disahkan sebagai PP.
Sebelumnya, saat uji publik RPP e-commerce melalui FGD tahun 2015 digelar Kemendag, para pelaku industri sempat memberikan sejumlah masukan kepada Kemendag terkait naskah RPP e-commerce yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan industri. Setidaknya ada 5 perihal yang menjadi masukan dari para pelaku industri, sebagai pihak yang terkena dampak langsung dari regulasi tersebut, di antaranya (1) terkait dengan kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat e-commerce, (2) kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah dan luar negeri, (3) perihal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan, dan menyampaikan identitas subjek hukum atau yang dikenal sebagai KYC (Know Your Customers), (4) perizinan berlapis yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri e-commerce itu sendiri, serta (5) adanya beberapa bagian di RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya.
Baca Juga: Impor Barang E-Commerce USD75 Bisa Diakali? Ini Kata Dirjen Bea Cukai
Padahal, saat ini potensi ekonomi mikro dan makro dari industri e-commerce sangat besar. Riset McKinsey berjudul "The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia's Economic Development" yang dirilis Agustus 2018 bahkan memproyeksikan pasar e-commerce Indonesia tahun 2022 akan tumbuh menjadi USD55 miliar hingga USD65 miliar (Rp808 triliun hingga Rp955 triliun). Regulasi yang dapat menciptakan equal playing field bagi ekosistem perdagangan online, termasuk pelaku industri dan konsumen sangat diperlukan guna memaksimalkan potensi dari industri ini.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)