Perkembangan fintech peer to peer lending di China
Pada 2015, Perdana Menteri China, Li Keqiang dan mantan gubernur bank sentral China, Zhou Xiaochuan, secara terbuka mendorong peer to peer lending sebagai cara untuk mengembangkan keuangan online dan mendukung usaha kecil menengah.
Dibandingkan dengan sistem perbankan tradisional, peer to peer lending memiliki ambang investasi yang lebih besar bagi para penabung, sementara menawarkan para peminjam kemudahan untuk memperoleh dana tanpa kerumitan soal historis kredit.
Dengan dukungan publik untuk sektor ini, ditambah dengan rujukan dari mulut ke mulut, jutaan pemberi pinjaman kecil muncul. Hal itu membantu menjadikan China sebagai pasar peer to peer lending terbesar di dunia, dengan 1,2 triliun yuan (USD175 miliar) dalam pinjaman yang beredar pada 2017.
Hal itu kemudian membuat jumlah perusahaan peer to peer lending meroket dari 10 pada 2010, menjadi lebih dari 3.000 pada 2015. Tetapi karena semakin banyak pemain masuk ke pasar, beberapa perusahaan fintech peer to peer lending mulai menjanjikan suku bunga jauh lebih tinggi daripada pesaing.
Janji untung selangit
Dibandingkan dengan tingkat bunga kurang dari 2% di bank-bank China, banyak platform peer to peer lending menjanjikan imbal hasil hingga 10%. Mereka bahkan, juga mulai menjanjikan investor dengan imbal hasil yang lebih baik.
Syaratnya, investor mampu mendapatkan lebih banyak orang di jaringan mereka untuk berinvestasi di platform peer to peer lending-nya.
Bahkan, terdapat platform peer to peer lending yang menjanjikan keuntungan hingga 60 persen. Akibatnya, sang pendiri melarikan diri karena gagal membayar kembali lebih dari 200 juta yuan (USD29 miliar).
Tak hanya masalah tersebut, fakta lainnya, pinjaman ini sangat berisiko di China. Menurut laporan DBS, peminjam peer to peer lending biasanya memiliki usia 20 hingga 39, dengan penghasilan antara USD300 hingga USD1200 per bulan, dan dengan sejarah kredit yang minim.
Hal itu ditambah dengan kurangnya transparansi mengenai bagaimana platform peer to peer lending menggunakan uang dari para pemberi pinjaman membuat sulit bagi investor untuk mengetahui apa yang terjadi.
Penyebaran masalah dan turun tangan pemerintah
Berbagai permasalahan yang melanda fintech peer to peer lending di China tersebut kemudian semakin menyebar. Imbasnya, banyak masyarakat yang kehilangan dana investasinya dari memberikan pinjaman akibat platform yang gagal bayar.
Arus penarikan dana (rush) pun terjadi secara masif, karena kehawatiran masyarakat setelah terdapat beberapa perusahaan yang gulung tikar akibat gagal bayar. Hal itu kemudian memicu gelombang unjuk rasa dari masyarakat.
Menghadapi kepanikan masyarakat yang kehilangan dana investasinya sebagai peminjam, Pemerintah China pun turun tangan dengan melakukan pengetatan regulasi. Mulai dari pengaturan imbal hasil atau suku bunga pinjaman, hingga beragam aturan pengawasan yang ketat.
Pada saat itu, Ketua Komisi Regulator Perbankan dan Asuransi China, Guo Shuqing kemudian mengeluarkan peringatan keras bahwa publik harus mempertanyakan apabila bunga imbal hasil di atas 6%. Pasalnya, tingkat imbal hasil 8% adalah sinyal berbahaya, dan masyarakat bisa bersiap untuk kehilangan semuamnya jika imbal hasil lebih dari 10 persen.
Sejak awal tahun hingga Juli lalu, sebanyak 221 perusahaan fintech peer to peer lending gulung tikar karena gagal bayar. Angka itu meningkat dari 217 perusahaan yang bangkrut pada sepanjang 2017.
Pemerintah China saat ini menggencarkan kampanye untuk menurunkan jumlah perusahaan fintech peer to peer lending yang berperforma buruk. Tak hanya itu, perusahaan dengan aset yang kecil dan di bawah ketentuan baru, diminta untuk segera mengembalikan dananya kepada masyarakat dalam setahun.
(Rani Hardjanti)