JAKARTA – PT Bank BTPN Tbk membukukan kinerja positif pada kuartal I/2019. Hasil penggabungan usaha (merger) antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) beberapa waktu lalu mendongkrak nilai aset, permodalan menjadi semakin solid, dan mampu melayani segmen bisnis yang lebih luas.
Hingga akhir Maret 2019, aset perseroan mencapai Rp192,2 triliun yang meningkat 101% dibandingkan posisi sama tahun lalu (year on year/yoy) senilai Rp95,8 triliun. Sementara penyaluran kredit tercatat Rp139,84 triliun, tumbuh 114% pada kurun waktu yang sama.
Pertumbuhan signifikan ini adalah nilai aset dan kredit gabungan dari neraca Bank BTPN dan SMBCI sejak efektif merger pada 1 Februari 2019.
Baca Juga: BTPN Sepakat Tak Bagi Dividen ke Pemegang Saham
Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana menjelaskan, selama kuartal I/2019, entitas baru hasil merger ini baru efektif hanya dua bulan, yakni Februari dan Maret.
Meski relatif singkat, kinerja tetap optimal sehingga bisa mempertahankan laju pertumbuhan. Hal ini menunjukkan merger berlangsung lancar dan sesuai ekspektasi.
“Bagi kami, tahun ini adalah tahun konsolidasi. Periode ini tentu sangat menantang dan kami bersyukur dapat mengawali fase integrasi dengan cukup baik, yang tercermin pada pencapaian kuartal pertama,” kata Ongki dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.
Pertumbuhan kredit Bank BTPN pada kuartal I/2019 banyak ditopang oleh segmen korporasi, usaha kecil dan menengah (UKM), pembiayaan konsumen, serta pembiayaan pra-sejahtera produktif (productive poor) melalui anak usaha, BTPN Syariah.
“Hal ini bentuk komitmen kami dalam menggerakkan sektor riil dan ikut berpartisipasi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kami melayani nasabah dari segmen paling bawah hingga korporasi besar,” kata Ongki.
Baca Juga: Merger dengan Sumitomo Mitsui, BTPN Jamin Tidak Ada PHK
BTPN juga semakin optimistis menyasar segmen korporasi berskala besar di Indonesia, seperti badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan multinasional, konglomerasi lokal Indonesia, dan perusahaan Jepang.
Pembiayaan korporasi antara lain mengalir ke proyek infrastruktur dan industri pendukung yang sejalan dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut Ongki mengungkapkan, rasio kecukupan modal (capital ade quacy ratio/ CAR) perseroan hingga kuartal I/2019 sebesar 23,1%, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) 0,8%, dan rasio likuiditas (loan to funding ratio/LFR) sebesar 89%.
Adapun laba bersih setelah pajak (net profit after tax/ NPAT) sebesar Rp507 miliar, lebih rendah 5% dari tahun lalu (yoy). Jika tidak memperhitungkan pajak, laba sebesar Rp801 miliar hampir sama dengan tahun lalu. (Hafid Fuad)
(Dani Jumadil Akhir)