JAKARTA - Perang tarif ojek online (Ojol) antara Grab dan Go-jek berpotensi mematikan usaha salah satu pihak. Hal tersebut terbukti di beberapa negara Asia Tenggara.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas indonesia (UI) Harryadin Mahardika mengatakan, beberapa contoh negara di Asia Tenggara sudah merasakan dampaknya adalah Singapura. Pada saat itu, Singapura memiliki dua perusahaan operator yakni Grab dan Uber.
Namun mendadak Grab memberikan promosi besar-besaran. Dari promosi itu lah akhirnya Uber kalah saing dari Grab.
Baca Juga: Diskon Tarif Ojek Online Tak Diatur, Grab-Go-Jek Bisa Saling 'Membunuh'?
“Predatory promotion di industri transportasi online ini bisa jadi sangat berbahaya karena ditujukan agar mematikan pesaing dan mengarah ke persaingan tidak sehat,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Harryadin menambahkan, ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi online, antara lain diskon hingga mencapai harga yang tidak wajar, promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melebihi kelaziman dan terindikasi mematikan pelaku usaha lainnya.
Kemudian adanya niat yang disampaikan secara publik oleh pelaku, usaha atau pemilik modal untuk mendominasi pasar dan harga aktual yang dibayarkan konsumen lebih rendah dibandingkan harga yang diterima pengemudi dan diduga berada di bawah biaya produksi.
Baca Juga: Cegah Persaingan Tak Sehat, Promo Ojek Online Tetap Perlu Diatur
“Terdapat perbedaan dengan perusahan konvensional yang melakukan promosi dengan menyisihkan profit untuk menjaga loyalitas konsumen. Sedangkan, promosi oleh perusahan transportasi online cenderung membakar; modal untuk penguasaan pangsa pasar,” jelas Harryadin.
Padahal, menurut Harryadin, yang diperlukan dari konsumen adalah keberlanjutan. Artinya tidak mengapa harga yang dipatok tidak diberikan diskon asalkan terus berlanjut kedepannya dan bukan hanya musiman.
“Harusnya kan yang penting keberlanjutannya,” ucapnya.
(Feby Novalius)