JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) meminta agar sebelum disahkan, terlebih dahulu melakukan pembahasan dengan stakeholder terkait.
Rencananya RUU Pertanahan tersebut ditargetkan rampung pada September tahun ini.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto. Menurutnya, jika dipaksakan untuk disahkan, akan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pengusaha hutan Indonesia.
"Langkah paling bijak adalah menunda pengesahan RUU Pertanahan, kemudian membahas sejumlah masalah penting yang selama ini belum dibicarakan dengan pihak terkait. Masalahnya, jika disahkan dan menjadi undang-undang, konsekuensi logisnya harus diikuti, sebab itu mengikat," ujar Purwadi dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Baca Juga: 17 Juta Hektare Lahan di Sumatra dan Kalimantan Bermasalah soal Perizinan
Seperti diketahui, dalam masa sidang terakhir ini, DPR berencana mengesahkan beberapa RUU yang masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas, salah satunya RUU Pertanahan, namun sebenarnya RUU Pertanahan dinilai sejumlah pihak belum dibahas secara mendalam dan belum sepenuhnya melibatkan pihak terkait.
Purwadi lebih lanjut mengatakan, salah satu yang menjadi sorotan kalangan pengusaha adalah persoalan kawasan yang masuk dalam pasal 23 dan juga soal obyek perndaftaran tanah yang masuk dalam pasal 63-64. Dalam pembahasan RUU Pertanahan selalu disinggung masalah kawasan.
Sementara dalam UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan 'Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan'.
Baca Juga: RUU Pertanahan Ditargetkan Rampung September
Sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi yang harus digunakan secara optimal untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari.
Dengan batasan tersebut di atas, lanjut Purwadi, hutan sebagai bagian dari sumber daya alam seyogyanya dikelola secara khusus (lex specialis), tidak menjadi bagian dari RUU Pertanahan.
Secara yuridis, hal ini diperkuat dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengatur secara berbeda antara Pembaruan Agraria dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam (termasuk di dalamnya hutan).