Dirinya mepaparkan RKAT BPJS Kesehatan untuk periode 2020. Pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Tetapi karena adanya putusan MA maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun.
Pemerintah sudah tambah Rp3 triliun, yang merupakan bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Alhasil, penerimaan jadi Rp135 triliun.
Ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun lebih kalau pemda membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Pepres no. 82 tahun 2018.
Sementara itu, dari sisi beban biaya, tahun lalu beban biaya Rp108 triliun. Kalau pun naik 10% pada 2020, maka beban biaya jadi Rp118,8 triliun. Ditambah utang BPJS ke rumah sakit pada 2019 yaitu Rp15 triliun. Jadi total Rp133,3 triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp5 triliun.
"Dari analisa biaya ini saja seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp1,7 triliun. Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di RS, dan mengawasi puskesmas dan klinik yg suka merujuk pasien ke RS sehingga biaya muncul di RS," jelas dia.
Belum lagi, dirinya melanjutkan, jika BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya Rp3,4 triliun. Bila Pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatah.
"Belum lagi kalau Bu Menkeu tegas ke pemda yg tidak mau nyetorin pajak rokoknya ke BPJS Kesehatan. Saya kira kalau itu dijalanin tahun ini DJS JKN bisa surplus dan tidak harus dinaikkan iurannya," jelas dia.
(Dani Jumadil Akhir)