Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Bukan Solusi, Ini yang Seharusnya Dilakukan

Widi Agustian , Jurnalis-Rabu, 13 Mei 2020 |15:12 WIB
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Bukan Solusi, Ini yang Seharusnya Dilakukan
Iuran BPJS Kesehatan Naik (Foto: Okezone.com)
A
A
A

JAKARTA - Pemerintah kembali akan menaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 64 tahun 2020.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menurunkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) peserta mandiri memaparkan dua pertimbangan hukum yaitu daya beli masyarakat masih rendah, dan kedua pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.

Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Begini Penjelasan Menko Airlangga

Dengan dua pertimbangan hukum ini maka MA membatalkan iuran peserta mandiri yang kelas 1 awalnya Rp160.000 diturunkan jadi Rp80.000, kelas 2 yang awalnya Rp110.000ibu diturunkan jadi Rp51.000 dan kelas 3 dari Rp42.000 menjadi Rp25.500.

"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya Pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," jelas dia dalam keterangannya, Rabu (13/5/2020).

Dalam kondisi pandemi seperti ini, dia melanjutkan, sudah sangat jelas dan kasat mata kalau daya beli masyarakat termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal sulit bekerja seperti biasa karena Covid-19 ini.

Baca Juga: Denda BPJS Kesehatan Juga Naik Jadi 5%

Lalu, kalau bicara pelayanan BPJS, di era Covid-19 ini justru pelayanan BPJS malah cenderung menurun.

"Sebagai contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test Covid-19, dan pasien diminta bayar Rp750.000 untuk test Covid-19 tersebut, padahal dengan sangat jelas-jelas di pasal 86 perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi," jelas dia.

Dia melanjutkan, ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp750.000 jadi pulang, yang seharusnya dirawat di rumah sakit. Si pasien, kata dia, akhirnya meninggal di rumah.

Dirinya mepaparkan RKAT BPJS Kesehatan untuk periode 2020. Pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Tetapi karena adanya putusan MA maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun.

Pemerintah sudah tambah Rp3 triliun, yang merupakan bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Alhasil, penerimaan jadi Rp135 triliun.

Ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun lebih kalau pemda membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Pepres no. 82 tahun 2018.

Sementara itu, dari sisi beban biaya, tahun lalu beban biaya Rp108 triliun. Kalau pun naik 10% pada 2020, maka beban biaya jadi Rp118,8 triliun. Ditambah utang BPJS ke rumah sakit pada 2019 yaitu Rp15 triliun. Jadi total Rp133,3 triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp5 triliun.

"Dari analisa biaya ini saja seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp1,7 triliun. Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di RS, dan mengawasi puskesmas dan klinik yg suka merujuk pasien ke RS sehingga biaya muncul di RS," jelas dia.

Belum lagi, dirinya melanjutkan, jika BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya Rp3,4 triliun. Bila Pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatah.

"Belum lagi kalau Bu Menkeu tegas ke pemda yg tidak mau nyetorin pajak rokoknya ke BPJS Kesehatan. Saya kira kalau itu dijalanin tahun ini DJS JKN bisa surplus dan tidak harus dinaikkan iurannya," jelas dia.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement