JAKARTA - Keinginan pemerintah untuk mempercepat bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025 dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap secara masif dinilai dapat mengancam sistem kelistrikan PLN.
Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Iwa Garniwa mengatakan sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Dari sisi itu bauran energi nasional harus kuat.
"Saya melihatnya begini, kita itu kebiasaan ingin gampang tidak smart. Paling gampang kan beli PV," ungkap Iwa dalam pernyataan tertulis seperti dilansir Antara, di Jakarta, Sabtu (14/8/2021).
Baca Juga:Â PLTS Atap Naik Pamor Melesat 1.000%, Kini Ada 4.000 Pelanggan
Menurut Iwa, masuknya PLTS Atap secara masif jangan melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat Photovoltaic (PV) memakai pemikulnya PLN, maka akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga.
Di Indonesia itu ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi. Karena itu, menurut Iwa, harus dihitung berapa persen yang intermittent masuk dalam sistem agar memenuhi operasi yang andal, kualitas bagus dan mutu baik.
“Tidak bisa pokoknya EBT sebanyak-banyaknya. Tidak peduli terhadap hal itu barangkali pemutus kebijakan, kok seperti tidak paham situasi,” tegas Iwa saat diskusi bersama media, Jumat (13/8) sore.
Menurut dia, seolah-olah mau sebanyak-banyaknya dan didukung kemudahan dalam membeli panel listrik, namun tidak melihat dampaknya, yakni biaya pokok produksi (BPP) PLN. Bayangkan jika di suatu komplek perumahan, 50 persen menggunakan rooftop tanpa baterai. Sementara PLN untuk menaruh gardu distribusi menghitung BPP.
Baca Juga:Â Capai Kesepakatan Finansial, PLTS Terapung Cirata Terbesar di Asia Tenggara
“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50 persen tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” katanya.
Ia mengungkapkan jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8 persen, China 2,8 persen dan Jepang 3,3 persen. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5 persen. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia.
Fakta kedua, sebanyak 68 persen pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. Dari dua fakta ini Iwa menyarankan penggunaan PLTS Atap tidak boleh terburu-buru dan terlalu masif. “Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan," ujar Iwa.