JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah segera buat kebijakan terkait polemik peningkatan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani pun mengusulkan kepada pemerintah agar segera menerbitkan Perppu Moratorium UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta melakukan amandemen/revisi tersebut.
Baca Juga:Â Menko Luhut ke Pengusaha: Kita Jangan Hanya Impor Barang
Pengusaha menilai kondisi ini sangat mengkhawatirkan, dikarenakan dapat mengganggu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh asosiasi dunia usaha.
“Pengajuan PKPU dan kepailitan ini sudah pada taraf yang sudah tidak dalam kondisi untuk menyehatkan perusahaan. Tetapi justru untuk berujung kepada kepailitan. Padahal maksud dan tujuan dari PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaannya,” terangnya.
Baca Juga:Â PPKM Berlevel Diperpanjang atau Tidak, Ini Harapan Pengusaha
Lebih lanjut, dia mengatakan format dari PKPU yang seharusnya adalah format dari debitur untuk mengajukan PKPU, tetapi yang terjadi justru 95 persen dipakai oleh kreditur.
Selain itu, Apindo juga menyoroti soal pengambilan keputusan guna mencapai sebuah kesepakatan dalam rangka merestrukturisasi utang.
“Pengambilan keputusan apakah ini akan mencapai sebuah kesepakatan untuk restrukturisasi utangnya atau ditolak. Kalau diterima itu berarti terjadi restrukturisasi utang sesuai dengan jadwal yang diajukan oleh debiturnya. Tapi kalau ditolak, itu langsung pailit. Mekanisme pengambilan keputusan ini tidak proporsional,” jelas Hariyadi.
Menurutnya, dalam pengambilan keputusan tersebut ada dua kamar. Di mana kamar pertama untuk kreditur yang mempunyai jaminan atau kreditur separatis, lalu kamar kedua ditempati oleh kreditur yang tidak mempunyai jaminan atau kreditur konkuren.
“Pengambilan dua kamar ini, hasilnya adalah kalau salah satu kamar menyatakan tidak setuju maka jatuh keputusan tidak setuju. Ini contoh yang tidak proporsional. Seharusnya, untuk menentukan suatu perusahaan itu insolvensi atau tidak mampu melanjutkan operasionalnya maka harus dilakukan insolvensi tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan itu masih layak beroperasi,” paparnya.