JAKARTA - Inflasi April 2022 diprediksi akan mengalami kenaikan. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor antara lain kenaikan harga sejumlah komoditas.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menjabarkan penyebab inflasi April 2022 yakni pertama saat ini mobilitas masyarakat semakin tinggi. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi juga mengumumkan adanya cuti dan libur hari raya Idul Fitri.
"Berbeda dengan 2 tahun sebelumnya yaitu 2020 dan 2021, inflasinya memang tidak terlalu tinggi karena ada pembatasan," ujar Margo dalam webinar, Kamis (7/4/2022).
Lebih lanjut, faktor lainnya ialah kenaikan sejumlah harga komoditas yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Misalnya, harga LPG 12 kg yang naik pada 27 Februari lalu, kemudian Pertamax naik per 1 April, demikian pula PPN yang menjadi 11%.
"Meskipun tipis ini berdampak ke berbagai komoditas dan jasa. Jadi memang ada demand yang meningkat, di sisi lain, ada kebijakan yang berpotensi menaikkan inflasi," ungkapnya.
BPS juga melakukan peninjauan dengan big data mengenai tren harga komoditas pangan strategis yang turut berkontribusi terhadap inflasi seperti minyak goreng, cabai merah, daging dan telur ayam ras segar.
Untuk harga minyak goreng, diperkirakan harganya masih tinggi dan akan terus berlanjut. Cabai merah juga akan mengalami peningkatan sejak Maret dan masih bertahan hingga awal April ini.
"Sementara harga daging dan telur ayam ras segar ada sedikit peningkatan," ungkap Margo.
Margo pun mengatakan, potensi peningkatan inflasi yang tinggi harus segera diantisipasi. Menurutnya ada beberapa dampak dan bahaya yang bisa timbul dari peningkatan inflasi yang tidak terkendali. Pertama adalah dampak pada penurunan daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga saat ini memiliki share terbesar dari total PDB Indonesia. Hal ini tentu dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tengah masuk masa pemulihan.
Kedua, inflasi yang tinggi di bahan pangan akan membebani masyarakat menengah bawah. Ketiga, inflasi yang tidak terkendali dalam jangka panjang akan menambah angka kemiskinan yang ada. Apalagi sebuah lembaga yakni Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81% atau setara 29,3 juta penduduk.
Keempat, inflasi yang tinggi terjadi akan menganggu kinerja mitra dagang yang akhirnya mengurangi output perekonomian. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya beban biaya produksi. Kelima dan terakhir adalah berkurangnya output perekonomian akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang akan menambah tingkat pengangguran.
Untuk itu, kelima dampak ini harus bida dihindari sebisa mungkin dengan menjaga angka inflasi tetap stabil. “Tentu saja kita tidak ingin inflasi ini berlanjut karena dampaknya bisa meluas kemana-mana,” ucap Margo.
Di diskusi yang sama, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Muhammad Edhie Purnawan menghimbau pemerintah Indonesia untuk bisa mewaspadai hal tersebut. Dirinya menyarankan agar koordinasi antara regulator seperti Bank Indonesia dan Pemerintah perlu ditingkatkan untuk menjaga laju inflasi hingga akhir 2022. Apalagi, ada kekhawatiran kenaikan harga-harga yang terjadi belakangan ini seperti BBM hingga minyak goreng bisa memicu inflasi 2022 lebih tinggi dari perkiraan Pemerintah yang dipatok sebesar 3,0%."Inflasi is everyday is everywhere. Persoalan harga-harga yang meningkat, persoalan macam-macam termasuk seperti persoalan pandemi. Inflasi itu sama seperti perampok, mematikan. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia harus mempersiapkan untuk mengantisipasi hal-hal ini," tambahnya.
Apalagi, lanjut Edhie, dari sisi eksternal, perang Rusia-Ukraina telah membuat banyak pihak cemas akan kondisi perekonomian global. Invasi Rusia ke Ukraina juga semakin membuat rumit kondisi inflasi dan kenaikan harga komoditas secara global. Tercatat, Inflasi Eropa naik mencapai 7,5% per Maret 2022, atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat di angka 5,9%.
Inflasi global yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina ini harus bisa diantisipasi oleh setiap negara. Pasalnya, inflasi global yang terjadi saat ini diprediksi masih panjang selama perang kedua negara tersebut masih berlangsung. "Inflasi ini adalah situasi ekonomi yang saya kira akan lama selesainya baik ditingkat global maupun di Indonesia juga. Saya kira semuanya tahu penyebab inflasi pertama demand dan supply, kali ini ditambah dengan perang Rusia-Ukraina," jelasnya.
Sebagai regulator, Bank Indonesia (BI) pun turut berperan dalam menjaga tingkat inflasi, khusunya di daerah. Kepala BI Provinsi Papua, Juli Budi Winantya mengungkapkan bahwa pihaknya menerapkan kebijakan 4K untuk dapat menjaga tingkat inflasi daerah tetap sesuai target. “Dalam menjaga stabilisasi harga, kita menerapkan 4K. Pertama adalah keterjangkauan harga. Kita lakukan stabilisasi apabila memang diperlukan,” tukas Juli.
Agar harga komoditas tetap terjangkau, BI melakukan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan melakukan survei pemantauan harga atau melakukan operasi pasar. Tidak jarang, BI juga menggunakan channel digital untuk memastikan harga yang ada tetap stabil.
Kemudian kebijakan kedua adalah ketersediaan pasokan. Dalam hal ini, regulator berkoordinasi dengan masyarakat untuk menanam komoditas utama penyumbang inflasi. Tidak jarang, implementasi digital dan konsep urban farming diterapkan dalam hal ini.
Selanjutnya, kebijakan ketiga adalah menjaga kelancaran distribusi. BI aktif melakukan kerja sama dengan BUMN untuk memastikan distribusi yang aman tetap terjaga. Selain itu, peran BULOG juga dioptimalkan dalam hal penyimpanan dan perdagangan.
Kebijakan terakhir adalah komunikasi efektif. Dalam poin ini, BI melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder terkait untuk mengendalikan inflasi. Media digital juga dimanfaatkan untuk mensosialisasikan harga pangan dan kampanye belanja dengan bijak.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)