Apalagi penguncian Covid-19 yang berkepanjangan di importir minyak mentah utama dunia, China, juga berdampak pada pasar.
"Kemerosotan pertumbuhan permintaan tidak bisa datang pada waktu yang lebih baik, dengan China tampaknya di ambang mengunci ibu kota Beijing pada saat tertentu," ucap direktur energi berjangka Bob Yawger di Mizuho.
Kemudian, IHK utama AS untuk 12 bulan hingga April melonjak 8,3 persen, memicu kekhawatiran tentang kenaikan suku bunga yang lebih besar, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Melonjaknya harga di SPBU dan melambatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan secara signifikan mengekang pemulihan permintaan sepanjang sisa tahun ini dan hingga 2023," kata Badan Energi Internasional (IEA) pada Kamis (12/5/2022) dalam laporan bulanannya.
BACA JUGA:Harga Minyak Dunia Turun 6% Imbas Lockdown di China
"Lockdown yang diperpanjang di seluruh China ... mendorong perlambatan signifikan di konsumen minyak terbesar kedua di dunia," tambah badan tersebut.
Serta Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak dunia pada 2022 untuk bulan kedua berturut-turut, mengutip dampak invasi Rusia ke Ukraina, meningkatnya inflasi, dan kebangkitan varian virus corona Omicron di China.
Sebelumnya, Rabu (11/5/2022), harga minyak melonjak 5,0% setelah Rusia memberikan sanksi kepada 31 perusahaan yang berbasis di negara-negara yang memberlakukan sanksi terhadap Moskow setelah invasi Ukraina.
Di mana hal ini menciptakan kegelisahan di pasar pada saat yang sama aliran gas alam Rusia ke Eropa melalui Ukraina turun seperempat. Ini adalah pertama kalinya ekspor melalui Ukraina terganggu sejak invasi.
(Zuhirna Wulan Dilla)