Menurut Rengkuh, inovasi ini bukan hanya menciptakan sebuah alternatif bungkus makanan pengganti styrofoam namun juga membantu perekonomian terutama di daerah.
"Di sisi lain ini berdampak baik untuk petani, kita manfaatkan limbah agriculturenya," jelasnya
Dia menjelaskan sebelum memutuskan untuk menggunakan pelepah pohon pinang.
Dia sempat melakukan riset terhadap beberapa tumbuhan lain yang dimungkinkan bisa digunakan sebagi bahan.
"Ketika kita melakukan riset awal sebetulnya ada banyak opsi ada pelepah pisang, kemudian limbah sorgum, kemudian juga yang pake limbah padi (gabah), cuman kami melihat material pelepah pinang ini adalah material yang paling minim tersentuh teknologi, dan itu jadi goals kamu untuk bisa endingnya teknologi ini diimplementasi di daerah-daerah tang lebih dekat source materialnya gitu," jelasnya.
Plepah merupakan produk industri kreatif yang bisa menjadi solusi ramah lingkungan dibandingkan styrofoam.
Sebab, styrofoam membutuhkan waktu sekitar 500 tahun untuk benar-benar terurai oleh tanah.
"Secara fungsi produk kami bisa masuk microwave biasa tahan panas hingga 200 derajat selama 45 menit, kemudian bisa water resistant dan untuk higienitasnya kami memang melakukan beberapa tahapan uv sterilized untuk memastikan semua bakteri di dalam produk-produk ini hilang," pungkasnya.
Dia menambahkan proses distribusi sampai saat ini baru berkisar di wilayah Jawa dan Bali.
Namun dia mengaku tengah memproses agar segera bisa melakukan distribusi ke negara Jepang.
"Kalau melihat dari demand, sebenarnya kebutuhan kemasan makanan per harinya dari salah satu platform online, itu bisa mencapai 20 juta pcs per hari, jadi masih sangat besar," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)