Meski terlahir dari keluarga yang cukup berada, karena perubahan keadaan politik, keluarganya terpaksa menjalani kehidupan seadanya. Dari rumah yang tergolong besar, mereka harus menjualnya, dan menyewa sebuah losmen sempit.
CT pun mulai berdagang, dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, dia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman, usaha itu bangkrut.
Walau bangkrut, CT muda malah semakin terpacu, dia melirik bidang kontraktor sebagai sasaran bisnisnya. Meski kurang berhasil, dia merasa mendapat pelajaran banyak hal dari bisnis-bisnis yang pernah ditanganinya. Dari bekal pengetahuan itu, ia memberanikan mendirikan CV pertamanya pada 1984 dan menjadikannya PT pada 1987.
Dari PT bernama Pariarti Shindutama itu, ia berkongsi dengan dua rekannya mendirikan pabrik sepatu. Kepiawaiannya menjaring hubungan bisnis langsung membuat sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160 ribu pasang dari pengusaha Italia. Dari kesuksesan ini, bisnisnya merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah kesuksesan itu, rupanya ia mengalami perbedaan visi dengan kedua rekannya. Maka, ia pun memilih menjalankan sendiri usahanya.
Lompatan besar bermula ketika dia memutuskan untuk mengambil alih kepemilikan Bank Mega pada 1996 lalu. Berkat tangan dinginnya, bank kecil dan sedang sakit-sakitan yang sebelumnya dikelola oleh kelompok Bappindo itu kemudian disulap menjadi bank besar dan disegani. Pada akhirnya bank ini pun menjadi pilar penting dalam menopang bangunan Para Group. Sementara, Dua pilar lain adalah Trans TV dan Bandung Supermall.