JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika terjadi market failure atau kegagalan pasar APBN akan masuk untuk meng-address issue. Maka dari itu, jika berbicara soal Energy Transition Mechanism (ETM), karena tantangan setelah pandemi seperti perubahan iklim itu tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme market.
"Itu adalah bagian dari fenomena kegagalan mekanisme pasar yang kemudian menimbulkan dampak undersupply atau excess demand. Kalau CO2 (karbon) yang mengancam climate dunia melalui climate change, itu karena orang memproduksi CO2 melalui kegiatan ekonomi, mereka enggak sadar bahwa dunia ini semuanya akan kelebihan atau kebanyakan produksi CO2 dan akhirnya terjadi global warming," ujar Sri dalam Seminar Bincang APBN 2023 secara virtual di Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Dia menyebutkan, baru saja keluar laporan dari UNFCCC lagi karena dua minggu lagi akan ada pertemuan UNFCCC atau COPS ke-27 di Mesir. Dikatakan bahwa tahun 2100, jika status quo seperti saat ini masih berlanjut, akan lebih hangat 2,6 derajat centigrade. Ini adalah suatu level kenaikan suhu yang melewati batas toleransi.
"Waktu itu di 2015, dunia berikrar bahwa kita harus avoiding agar bumi tidak melampaui 1,5 derajat centigrade lebih hangat. Anda barangkali bingung, 'rasanya 1,5 sampai 2,6 kan doesn't matter bu, saya kalau pakai AC kadang 25, 21, 19 derajat, so what gitu?'. Anda tidak tahu bahwa kalau dunia menghangat 1,5 derajat centigrade atau more, maka tidak hanya kutub utara selatan mencair, permukaan air naik, tapi juga pola musiman berubah sama sekali," jelas Sri.
Maka kalau melihat betapa banyak sekali sekarang bencana alam karena tidak ada lagi pola yang dianggap normal. Musim kering bisa panjang dan juga terjadi kebakaran hutan. Musim hujan menjadi sangat ekstrim, terjadi tanah longsor dan banjir yang bisa mengancam manusia.
"Itu juga mengancam ekonomi. Kalau perekonomian dan kegiatan manusia semuanya memproduksi karbon terlalu banyak dan nobody cares, itu yang disebut sebagai market failure. Nyata-nyata bisa membahayakan dunia, namun enggak ada yang bisa mengoreksi. Disitulah letak APBN sebagai alokatif, mengoreksi supaya tingkah laku manusia memasukkan risiko ancaman global tersebut, ya caranya dengan memakai carbon tax, subsidi," tandas Sri.
Ketika Indonesia menyatakan akan berpartisipasi menurunkan karbon hingga 31% dan 43% kalau dibantu secara internasional, itu hanya bisa terjadi kalau kebijakan fiskal mendukung. Salah satunya adalah dengan ETM.
"Itu baru bagian fungsi alokasi dari APBN," pungkas Sri.
(Taufik Fajar)