Saat ini polemik soal ASN kaya menggeliat bukan karena upaya pencegahan atau pengungkapan kasus dari aparat hukum, tetapi dipicu kasus kriminal. Pelaku kriminal itu diketahui anak pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
Akun medsosnya menguak tindakan flexing atau pamer kekayaan, merembet ke kekayaan orangtuanya sebagai ASN.
Dari satu kasus, merembet berbagai kasus baik di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, KPK, kepolisian, Badan Pertanahan dan berbagai kementerian serta lembaga lain, termasuk pejabat pemerintah daerah dan keluarganya.
Terakhir, pejabat di Sekretariat Negara dinonaktifkan pada 19 Maret 2023, setelah istrinya diketahui gemar pamer barang mewah di akun medsos.
Setelah itu, warganet seolah-olah berlomba mengulik kekayaan ASN yang terlihat dari akun media sosial mereka.
Namun, usai upaya penindakan dilakukan, tercatat penjualan motor besar dan tas mewah meningkat tajam di berbagai laman jual-beli daring yang dinilai sebagai respon para ASN itu menjual koleksi mahal.
Lalu, dia meminta agar ASN hidup sewajarnya saja, Apalagi ASN dipastikan bisa hidup secara layak, memiliki rumah nyaman dan kendaraan wajar.
Wahyudi menyebut sejumlah merk kendaraan mahal, yang jika dimiliki seorang ASN maka ada kemungkinan itu adalah hasil kejahatan melalui jabatannya, baik berupa penyalahgunaan kewenangan ataupun korupsi.
“Kalau kita bicara tentang pegawai negeri, kalau pendapatan itu dari hal-hal yang wajar, dari gaji, dari bonus, dari gaji ke-13, itu sebenarnya mereka tidak mungkin bisa flexing yang berlebihan. Pamer rumah mewah, mobil mewah,” ucapnya.
Ketika ditanya, mengapa ada sejumlah ASN memiliki aset puluhan miliar dan pendapatan besar, masih bertahan sebagai pegawai dengan gaji kecil, Wahyudi menyebut ada kemungkinan dia memanfaatkan posisinya sebagai jalan untuk menambah kekayaan.
“Sebagian besar bermotivasi menjadi pejabat, karena ada keleluasaan untuk punya kekuasaan. Dan dari situ dia memanfaatkannya. Motivasinya, tentu saja adalah korupsi, menambah lagi penghasilannya, bukan semata-mata untuk mengabdi kepada rakyat,” bebernya.
Adapun untuk mekanisme pemantauan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tetapi tidak maksimal. Begitu pula potensi konflik kepentingan terkait ASN yang diatur dalam sejumlah undang-undang.
Artinya, aturan sebenarnya sudah cukup untuk mencegah ASN mendapatkan pendapatan tidak wajar dari kewenangan atau kekuasaannya. Namun, mungkin belum efektif.