“Akibat ketidaktahuan ini, bisa jadi platform semakin kenceng dalam memberikan atau menyusupi konten-konten yang sebenarnya adalah ‘undisclosed ads’ (iklan tersembunyi/ rahasi). Konten yang nampak natural dan normal, namun nyatanya merupakan iklan bagi suatu produk,” ungkapnya.
Dengan pola tersebut, Karim bilang, masyarakat tidak akan menyadari bahwa yang membuat mereka tertarik untuk membeli suatu produk bukanlah dari keinginan sendiri. Namun karena mereka menjadi korban tidak langsung dari iklan-iklan.
“Logika berpikirnya bukan lagi; masyarakat memiliki interest terhadap suatu produk kemudian algoritma menyuguhi iklan kepada mereka, akan tetapi algoritma akan terus memaksakan suatu interest kepada produk sehingga secara tidak sadar mereka tertarik, dan ingin membeli. Menanam benih dalam pikiran mereka yang sebenarnya memang tidak ada, tetapi menjadi ada dengan algoritma,” sambungnya.
Sebelumnya, Menkop UKM Teten Masduki menyebut TikTok Shop masih melanggar peraturan setelah kembali beroperasi.
Teten mengatakan e-commerce bagian dari aplikasi TikTok itu melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Pasalnya, TikTok Shop masih beroperasi dengan cara yang sama sebelum dilarang beroperasi, di mana transaksinya masih berada di platform itu sendiri. Padahal dalam Permendag 31/2023, media sosial dan e-commerce tidak boleh digabung.
"TikTok sudah mengambilalih Tokopedia dengan investasi. Pertanyaannya adalah apakah sudah dipenuhi Permendag 31 itu. Ini yang sedang kita bahas," katanya
(Kurniasih Miftakhul Jannah)