JAKARTA - Harta karun panas bumi di Indonesia bisa dikembangkan secara optimal. Terlebih lagi, Indonesia menyimpan banyak cadangan panas bumi, bahkan negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia. Namun hingga kini pengembangannya masih belum maksimal karena berbagai faktor.
Berdasarkan proyeksi bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan panas bumi adalah sebesar 5%. Ini tentu angka besar mengingat kebutuhan energi yang terus tumbuh dan besar di masa yang akan datang.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan dengan proyeksi sebesar itu sementara realisasi penggunaan pnnas bumi baru 3.000 Megawatt (mw) dari total potensi mencapai 24.000 mw, ada banyak pekerjaan yang menanti pemerintah dan para stakeholder. Karena itu, perlu ada penetrasi untuk akselereasi kemampuan Indonesia dalam implementasi panaas bumi.
“Bisa dibayangkan panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu berkontribusi 5% di tahun 2060 dalam bauran energi secara keseluruhan maka kita ingin jika tidak mampu akselerasi panas bumi secara penuh itu akan jadi pekerjaan rumah 2060 agar panas bumi bisa terpenuhi,” jelas Satya, Jakarta ,Senin (15/1/2024).
Satya menuturkan ada beberapa langkah untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi pertama adalah harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Tarif yang meluncur sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi. tidak membandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple.
Selain itu, lanjut dia, perizinan harus ada keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi terkait izin AMDAL, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.
Menurut Satya, sebaiknya terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah (risk mitigation), internalisasi biaya lingkungan (carbon tax). Perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan (20%) dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya.
Selain itu, perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker (menjadi tarif kompetitif) dan pengembang yang mempunyai risiko (menjadi tarif menarik), memastikan perlindungan tingkat IRR sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff.
"Agar pengeboran lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium/koperasi rig khusus panas bumi. Serta untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif (antara lain tax Allowance) untuk optimalisasi tarif diharapkan lebih kompetitif," jelas Satya.