JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan aset negara mencapai Rp13.072,8 triliun per 31 Desember 2023.
Aset tersebut naik sekitar 6,06 persen dari catatan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp12.325,45 triliun berdasarkan data yang tertuang dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2022 yang telah diaudit.
Dengan aset sebanyak ini, apakah utang pemerintah yang mencapai Rp8.353 triliun bisa lunas dibayar?
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah Rp8.353,02 triliun hingga akhir Mei 2024.
Angka ini naik Rp14,59 triliun dibandingkan April 2024 yang tercatat Rp8.338,43 triliun. Begitupula jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, naik Rp565 triliun dari posisi Rp7.787,51 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim, rasio utang per akhir Mei 2024 yang mencapai 38,71 persen terhadap PDB itu tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
"Dan terus menunjukkan tren penurunan dari angka rasio utang terhadap PDB 2021 yang tercatat 40,74 persen, 2022 di 39,70 persen dan 2023 di 39,21 persen, serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40 persen," jelasnya dalam Buku APBN KiTA.
Adapun mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,12 persen. Hal ini selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagau pelengkap.
Kemudian berdasarkan instrumennya, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai 87,96 persen. Pasar SBN yang efisien akan meningkatkan daya tahan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan ekonomi dan pasar keuangan.
Dengan aktivitas pembiayaan utang melalui penerbitan SBN, pemerintah turut mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik. SBN turut menyediakan referensi untuk menentukan harga instrumen pasar keuangan lainnya dan digunakan oleh para pelaku pasar untuk mengelola risiko suku bunga.
Selanjutnya, guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mewujudkan pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid.
Salah satu strateginya adalah melalui pengembangan berbagai instrumen SBN, termasuk pula pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan (Green Sukuk) dan SDGs (SDG Bond dan Blue Bond). Peranan transformasi digital dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung dengan sistem online juga tak kalah penting, mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel.
Menkeu menekankan bahwa pengelolaan portofolio utang berperan besar dalam menjaga kesinambungan fiskal secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal.
Meski mempunyai aset yang lebih besar daripada utang, namun tidak serta merta utang tersebut bisa langsung lunas dibayar. Terlebih lagi, pembiayaan utang masih dibutuhkan dalam APBN. Yang pasti pemerintah tetap menjaga rasio utang terhadap PDB agar tetap aman.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan angkat bicara soal kehebohan perhitungan utang negara dengan cara dibagi per individu.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan, perhitungan utang negara dengan cara dibagi per individu (menghitung per kapita) kurang tepat. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan kaidah perhitungan utang secara internasional.
"Secara internasional, kaidah umum perhitungan rasio utang per kepala itu tidak dikenal," kata Deni Ridwan melalui keterangannya, Selasa (19/9/2023).
Pernyataan tersebut menanggapi ramainya netizen membahas utang negara dengan cara menunjukan pembagian total utang negara dengan jumlah penduduk Indonesia. Hasilnya, tiap orang akan menanggung Rp28 juta.
Menurut Deni Ridwan, perhitungan yang kerap digunakan adalah perbandingan utang dengan Gross Domestic Product (GDP). Hal itu sebagai gambaran dari ukuran ekonomi suatu negara, sekaligus kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak.
"Semakin kecil rasio debt to GDP menunjukkan suatu negara semakin aman atau mampu memenuhi kewajiban utangnya," katanya.
(Dani Jumadil Akhir)