JAKARTA - Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi sudah diwacanakan pemerintah, namun hingga kini belun juga diterapkan otoritas.
Di mana persoalan penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran membebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp90 triliun per tahunnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi belum terpikirkan.
Tak berapa lama setelah diangkat sebagai Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengatakan, pembatasan pembelian BBM Subsidi akan dilakukan mulai 1 Okober 2024, yang akan didahului dengan sosialisasi.
Terkait hal itu Pengamat Ekonomi Energi asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, bantahan Presiden Jokowi yang kedua kalinya mengindikasikan bahwa Kepala Negara masih bimbang memutuskan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.
Menurutnya, ada pertimbangan yang membuat kebijakan pembatasan penyaluran produk energi belum diterapkan. Terutama, pertimbangan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
“Barangkali, Jokowi khawatir bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bisa menurunkan legasi Jokowi sebelum lengser pada 20 Oktober 2024,” ujar Fahmi kepada MNC Portal, Sabtu (7/9/2024).
Dia mencatat, pembatasan BBM subsidi memang akan menaikkan harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak, sehingga harus bermigrasi ke BBM non subsidi dengan harga lebih mahal.
Kendati begitu, kenaikan harga tersebut harus dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas.
“Tidak ada alasan bagi Jokowi untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi,” paparnya.
Pasalnya, jumlah beban subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar atau sekitar Rp90 triliun per tahun, yang memberatkan beban APBN.
Bila sampai dengan lengser, Presiden Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM subsidi, beban APBN akan diwariskan kepada pemerintahan Presiden terpilih, yakni Prabowo Subiyanto.
(Taufik Fajar)