Dia menambahkan, usulan Kemenkes untuk mendorong kemasan rokok polos tanpa merek tersebut berpotensi semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal menjadi semakin marak. "Hal ini sangat berbahaya karena membuka peluang beredarnya rokok ilegal di masyarakat dan sulitnya pemerintah mengatur penerimaan cukai sebagai pemasukan negara,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa tindakan ini bertentangan dengan UU dan konstitusi, karena Komisi IX sendiri belum dilibatkan dalam konsultasi mengenai peraturan tersebut. Sebaliknya justru berkiblat pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang mana tidak diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Kritik ini pun menyoroti ketidakpuasan terhadap transparansi dan keterlibatan dalam pembuatan peraturan yang mempengaruhi sektor industri dan kesehatan. DPR menekankan perlunya keterlibatan semua pihak untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya melindungi sektor strategis seperti industri hasil tembakau, tetapi juga sesuai dengan aturan hukum dan konstitusi.
Tak pelak, Nadlifah pun meminta pemerintah untuk memperhatikan lebih dalam dampak dari aturan yang dibuat, sekaligus lebih seimbang dalam memandang kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Yang tidak kalah penting, memastikan proses pembuatan peraturan yang inklusif serta transparan. Kemenkes diminta mengakomodir aspirasi dari masyarakat kecil yang sudah lantang menyuarakan penolakannya terhadap RPMK dan berbagai pasal pada PP 28/2024.
"Sejak UU Omnibus Kesehatan, Komisi IX dan Kemenkes sudah bersepakat untuk sama-sama mengawal pembuatan kebijakan termasuk berbagai aturan turunannya. Namun pembuatan PP 28/2024 dan RPMK tidak konsultasi dengan Komisi IX," paparnya.
(Feby Novalius)