Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

DPR Pastikan PPN 12% Bisa Ditunda Tanpa Ubah UU

Dwi Fitria Ningsih , Jurnalis-Senin, 25 November 2024 |13:36 WIB
DPR Pastikan PPN 12% Bisa Ditunda Tanpa Ubah UU
DPR Pastikan PPN 12% Bisa Ditunda Tanpa Ubah UU. (Foto: Okezone.com)
A
A
A

JAKARTA - DPR pastikan PPN 12% bisa ditunda tanpa ubah UU. Di mana penetapan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sudah diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Wakil Ketua Komisi XI Dolfie AFP mengatakan, tarif PPN ini turun asalkan dalam rentang yang telah ditetapkan, yaitu 5-15%.

"Undang-Undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR," jelas Dofie, Senin (25/11/2024).

Pada pemerintahan sebelumnya, Komisi XI telah mengangkat isu tentang rencana penerapan PPN 12%. Saat itu, Menteri Keuangan Sri MUlyani Indrawati menyatakan bahwa keputusan mengenai perubahan tarif PPN perlu menunggu pelantikan Presiden Prabowo.

Namun, dengan pergantian pemerintahan, belum ada indikasi perubahan kebijakan terkait PPN. Menurut Dolfie, penerimaan tambahan dari kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia juga menambahkan, jika tarif PPN diturunkan menjadi 11% pemerintah diperkirakan akan kehilangan potensi penerimaan hingga Rp50 triliun.

"Nah mungkin sampai saat ini belum ada arahan terbaru dari presiden terkait itu. Karena kalau itu diturunkan menjadi 11% aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira," jelas Dofie.

Sementara itu, kajian dari LPEM FEB UI dalam laporan Economic Outlook 2025 menyebutkan bahwa kebijakan peningkatan tarif PPN berpotensi memberikan teakanan inflasi.

Menurut Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, kenaikan PPN cenderung meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga berdampak langsung pada peningkatan biaya hidup masyarakat.

"Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan," ucap Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Menurut analisis tersebut, kenaikan tarif PPN dapat memberikan tekanan pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini berpotensi memengaruhi pengeluaran rumah tangga, yang pada gilirannya bisa berdampak negatif pada tingkat konsumsi secara keseluruhan.

Meski demikian, hingga kini belum ada kebijakan resmi dari Presiden Prabowo terkait perubahan tarif PPN. Pemerintah tampaknya masih mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampaknya terhadap penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Menurut kajian yang dilakukan oleh LPEM FEB UI, Teuku menjelaskan bahwa selama periode 2020-2021, saat tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih berada di angka 10%, rumah tangga kaya yang masuk dalam 20% kelompok terkaya, menggunakan 5,10% dari total pengeluarannya untuk membayar PPN. Sementara itu, rumah tangga miskin yang termasuk dalam 20% kelompok termiskin, mengalokasikan 4,15% dari pengeluarannya untuk pajak tersebut.

Setelah tarif PPN dinaikkan menjadi 11% pada 2022-2023, beban pengeluaran untuk pajak ini mengalami peningkatan. Rumah tangga kaya harus mengeluarkan 5,64% dari total pengeluaran mereka untuk PPN, sementara rumah tangga miskin mengalokasikan sekitar 4,79% dari pengeluarannya untuk pajak ini.

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement