JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin menegaskan bahwa produsen rokok ilegal berpotensi memanfaatkan kebijakan kemasan polos untuk memperluas peredaran produknya di pasar, sebab desain kemasan yang seragam membuat produk ilegal semakin sulit dibedakan dari produk legal.
Di sisi lain, konsumen juga akan kesulitan mengenali ciri khas produk yang biasa mereka pilih, sehingga membuka ruang yang lebih lebar bagi produk tiruan beredar tanpa terdeteksi.
“Produsen rokok ilegal dapat dengan mudah menjual produk mereka di pasaran dan mengancam eksistensi produsen rokok legal. Padahal Industri tembakau di Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam pendapatan cukai negara. Pada tahun 2024, IHT telah menyumbang Rp 216,9 triliun melalui cukai hasil tembakau (CHT),” ungkap Saleh, Minggu (27/4/2025).
Lebih jauh, Saleh mengingatkan bahwa persoalan ini tidak berhenti hanya pada pengawasan produk semata, namun juga akan memicu dampak lanjutan dalam peta persaingan pasar. Produk rokok ilegal, yang dijual tanpa beban cukai dan pajak, jelas memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk legal.
Dalam situasi tren peralihan konsumen ke produk berharga lebih rendah (downtrading) yang makin kuat, kondisi ini bisa mempercepat pergeseran pangsa pasar ke produk ilegal.
Tak hanya memengaruhi pemain besar, pelaku usaha skala kecil dan menengah juga dikhawatirkan menjadi korban dari ketidaksetaraan persaingan ini. Menurut Saleh, segmen industri kecil sangat mengandalkan identitas merek dan kemasan sebagai kekuatan diferensiasi.
Tanpa pembeda tersebut, produk legal akan semakin terhimpit di tengah gempuran produk ilegal yang tidak melalui proses pengawasan dan beredar dengan harga jauh di bawah pasar.
“Situasi ini berpotensi mematikan keberlangsungan bisnis mereka, karena mereka tidak memiliki kapasitas modal seperti pelaku besar untuk bertahan. Akibatnya, pasar bisa semakin terkonsentrasi pada pelaku ilegal yang tidak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara,” tegas Saleh.
Kondisi ini juga diperkuat oleh temuan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang mencatat, Indonesia berisiko kehilangan pendapatan negara lebih dari Rp300 triliun jika kebijakan kemasan polos tetap diterapkan. Tak hanya itu, potensi kebocoran fiskal akibat lemahnya pengawasan juga diperkirakan akan menggerus penerimaan perpajakan hingga Rp106,6 triliun.
Saleh pun menekankan pentingnya proses penyusunan kebijakan dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh pemangku kepentingan, bukan sebatas formalitas belaka.
“Semoga ini bisa menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan kebijakan disusun lebih terbuka dan mempertimbangkan seluruh aspek secara proporsional,” harapnya.
(Taufik Fajar)