Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan pihaknya mendorong pemerintah memperluas kerja sama bilateral dan regional untuk membuka pintu pasar-pasar baru bagi Indonesia.
Hal ini termasuk dalam daftar rekomendasi strategis yang disampaikan ke pemerintah dalam merespon kebijakan Trump. Seiring itu, pemerintah diharapkan meneruskan negosiasi ulang dengan AS demi mencapai keuntungan bagi kedua pihak.
Penguatan ekonomi domestik, pembangunan ekosistem bisnis yang efisien dan berbiaya rendah juga menjadi penting untuk mendorong daya saing Indonesia di pasar global.
Rekomendasi lain, menurut Ajib, adalah revitalisasi sektor padat karya sebagai bagian strategi jangka panjang membangun ekonomi nasional. “Kita masih high cost economy, itu membuat barang dan jasa kita kompetitifnya rendah," kata dia.
CEO PT Oxytane Mitra Indonesia Syofi Raharja juga mendorong para pengusaha mengembangkan bisnis ke negara-negara yang selama ini dianggap asing.
Oxytane merupakan produsen solusi untuk mengurangi kadar emisi karbon dari mesin dan kendaraan berbahan bakar fosil dan sudah dipasarkan di Afrika dan Asia. Dia juga meminta pemerintah memfasilitasi upaya pengusaha membuka pasar baru dengan memperbaiki regulasi.
“Kita perlu tingkatkan daya saing produk Indonesia. Selama itu bagus, tidak akan ada masalah ketika dinamika perdagangan global seperti perang tarif ini terjadi,” ujar Syofi.
Ekonom Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) Shaanti Shamdasani juga menyebut Indonesia masih memiliki banyak potensi pasar global yang bisa dieksplorasi. Kebijakan tarif impor dari Trump itu justru bisa menjadi alarm agar Indonesia bisa lebih aktif berekspansi ke pasar di luar AS.
“Kenapa kita harus fokus ke Amerika Serikat? Indonesia itu sudah oke, punya sumber daya untuk survive. Manfaatkan kesempatan perang tarif ini untuk memperbaiki diri.”
Menurut Shaanti, Indonesia bisa jadi harus berterima kasih pada kebijakan tarif AS itu karena membuka peluang besar di dunia perdagangan global. Pasalnya, Indonesia dinilai sudah terlalu lama terlena dengan kondisi perdagangannya selama ini.
“Apa yang dialami Indonesia saat ini seharusnya terjadi 10 tahun lalu, benahi ketergantungan impor dan buat rencana alternatif substitusi impor,” kata dia.
(Taufik Fajar)