JAKARTA — Lembaga pemeringkat global S&P Global Ratings memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,6% pada 2025. Proyeksi ini mencerminkan perlambatan di tengah tekanan eksternal, seperti kenaikan tarif dari Amerika Serikat dan pelemahan ekonomi China. Meski begitu, ekonomi Indonesia dinilai tetap solid dan relatif tangguh dalam menghadapi tantangan global.
“Prospek pertumbuhan jangka menengah Indonesia tetap solid. Kami memperkirakan bahwa tren pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi sekitar 4,6% dalam lima tahun mendatang,” kata Chief Economist S&P Global Ratings, Louis Kuijs, dalam acara Indonesia Credit Spotlight 2025 yang digelar oleh PEFINDO dan S&P Global Ratings di Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Indonesia dinilai masih menghadapi lanskap global yang menantang. Orientasi ekonomi berbasis pasar domestik diyakini menjadi bantalan penting bagi stabilitas pertumbuhan.
“Tarif AS akan memukul ekonomi seperti Indonesia, tetapi tidak sepenuhnya menekan perekonomian,” jelasnya.
Level inflasi RI saat ini, ujarnya, bukan menjadi ancaman besar dalam waktu dekat. Sebaliknya, arah kebijakan ekonomi pemerintah diyakini akan lebih terfokus pada menjaga laju pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi.
“Kami memperkirakan PDB Indonesia tumbuh 4,6% pada 2025 dan 4,7% pada 2026,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa meski angka 4,6% tersebut tergolong menengah di antara negara-negara berkembang di Asia, secara global pertumbuhan Indonesia masih tergolong kuat dan kompetitif.
Proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi juga datang dari Maybank Investment Banking Group.
Ekonom Maybank, Brian Lee Shun Rong, menilai selain dampak dari kebijakan tarif AS yang berpotensi mendorong revisi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terdapat pula faktor penurunan konsumsi rumah tangga dan investasi.
“Perkiraan kami untuk pertumbuhan PDB setahun penuh akan melambat menjadi 4,7% pada 2025, dari 5% pada 2024,” kata Brian dalam riset Indonesia Economics.
Apabila kesepakatan dagang Indonesia–AS gagal dicapai, kata Brian, maka tarif efektif diperkirakan meningkat menjadi 31,7% pada Juli mendatang. Hal ini berpotensi menekan kinerja ekspor dan neraca perdagangan nasional.
Sementara itu, kinerja APBN pemerintah juga belum menjanjikan sebagai pendorong pertumbuhan. Pemerintah mencatat defisit anggaran sebesar 0,4% dari PDB pada kuartal I, dengan kontraksi penerimaan negara hingga 17% secara tahunan.
Maybank memperkirakan defisit akan melebar hingga 2,9% pada akhir tahun ini.
“Penurunan pendapatan APBN di tengah perlambatan ekonomi kemungkinan akan membatasi pengeluaran,” kata Brian.
(Feby Novalius)