JAKARTA - Microsoft tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terbesar kedua dalam sejarahnya dengan memberhentikan lebih dari 6.000 karyawan secara global. Langkah ini memicu perhatian luas, terutama karena terjadi di tengah gencarnya ekspansi perusahaan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI).
Microsoft secara resmi mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 6.000 karyawan atau hampir 3% dari total tenaga kerja globalnya. Kebijakan ini berdampak pada berbagai jenjang dan tim di seluruh dunia, termasuk di dalamnya jajaran pimpinan teknologi dan pengembang perangkat lunak.
Salah satu sosok yang terdampak adalah Gabriela de Queiroz, Direktur AI untuk program Microsoft for Startups. Melalui unggahan di media sosial X (dahulu Twitter), ia membagikan kabar duka tersebut dengan tetap menunjukkan sikap optimistis.
"Saya sangat sedih. Hati saya hancur melihat begitu banyak rekan luar biasa harus pergi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sepenuh hati, memberikan kontribusi nyata, dan sangat berdedikasi," tulis Gabriela.
Meskipun diminta segera menghentikan aktivitas kerja dan mengaktifkan pesan keluar kantor, Gabriela memilih untuk tetap hadir di beberapa pertemuan dan menyelesaikan tanggung jawabnya hingga akhir. "Itu adalah cara saya untuk berpamitan dengan baik," jelasnya.
Ironisnya, pemangkasan ini terjadi di saat Microsoft semakin intensif mengembangkan teknologi AI. CEO Satya Nadella bahkan menyampaikan hingga 30% dari kode di beberapa proyek perusahaan kini ditulis oleh AI.
Namun, justru para insinyur perangkat lunak menjadi kelompok yang paling banyak terkena dampak PHK tercatat lebih dari 40% dari 2.000 posisi yang dipangkas di negara bagian Washington berasal dari sektor ini menurut analisis Bloomberg.
Gabriela juga mengirim pesan solidaritas kepada para karyawan yang turut terkena PHK. "Bagi kalian yang juga terdampak kalian tidak sendiri. Kita setidaknya berjumlah 6.000 orang," tulisnya seraya tetap menebar semangat dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, pada gelaran konferensi pengembang tahunan Microsoft Build 2025 di Seattle, aksi protes turut mewarnai suasana.
Seorang karyawan bernama Joe Lopez secara terbuka memprotes keterlibatan Microsoft dalam proyek Cloud dan AI dengan pemerintah Israel, dengan meneriakkan slogan "Free Palestine". Lopez, yang merupakan veteran divisi Microsoft Azure, mengklaim teknologi perusahaan dimanfaatkan untuk menyakiti warga sipil Palestina, yang kemudia klaim tersebut dibantah oleh pihak Microsoft.
Aksi tersebut juga mendapat dukungan dari mantan karyawan Google yang sebelumnya ikut serta dalam aksi duduk menentang kontrak cloud Google dengan Israel. Keduanya diketahui merupakan bagian dari kelompok aktivis "No Azure for Apartheid" yang mengkritik kerja sama teknologi dengan pemerintah Israel.
Dengan berjalannya PHK besar-besaran dan munculnya perlawanan dari internal karyawan, Microsoft kini menghadapi tantangan ganda: menata ulang struktur perusahaan sambil menjaga citra dan kepercayaan publik di tengah ekspansi agresifnya di ranah AI.
(Taufik Fajar)