JAKARTA - Kenapa banyak bank tutup di 2025? Ini penyebabnya. Terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Disky Suryajaya yang berlokasi di Jalan Medan–Binjai Km 14,6, Komplek Padang Hijau Blok A No.18, Kabupaten Deliserdang, Sumatra Utara.
Dengan demikian, sepanjang Januari hingga Agustus 2025 terdapat 3 BPR yang tutup di Indonesia. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-58/D.03/2025 tanggal 19 Agustus 2025 tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Disky Suryajaya.
OJK menjelaskan, pencabutan izin usaha merupakan langkah pengawasan dalam rangka memperkuat industri perbankan serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyiapkan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan dan pelaksanaan likuidasi PT BPR Disky Suryajaya, Deli Serdang, Sumatera Utara. Langkah ini dilakukan setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha bank tersebut, Selasa (19/8/2025).
LPS memastikan simpanan nasabah akan dibayar sesuai ketentuan. Proses rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan dilakukan paling lama 90 hari kerja sejak pencabutan izin usaha dan dana pembayaran bersumber dari LPS.
Namun jika dihitung sejak 2024 hingga tahun 2025, total 23 bank di Indonesia yang tutup.
Berikut daftar bank tutup hingga Agustus 2025:
1. BPR Wijaya Kusuma
2. BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda)
3. BPR Usaha Madani Karya Mulia
4. BPR Pasar Bhakti Sidoarjo
5. BPR Purworejo
6. BPR EDC Cash
7. BPR Aceh Utara
8. BPR Sembilan Mutiara
9. BPR Bali Artha Anugrah
10. BPRS Saka Dana Mulia
11. BPR Dananta
12. BPR Bank Jepara Artha
13. BPR Lubuk Raya Mandiri
14. BPR Sumber Artha Waru Agung
15. BPR Nature Primadana Capital
16. BPRS Kota Juang (Perseroda)
17. BPR Duta Niaga
18. BPR Pakan Rabaa Solok Selatan
19. BPR Kencana
20. BPR Arfak Indonesia
21. BPRS Gebu Prima
22. BPR Dwicahaya Nusaperkasa
23. BPR Disky Suryajaya
Sementara itu, ratusan kantor cabang bank tutup. Penutupan kantor cabang bank ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. OJK mencatat terdapat tren penurunan jumlah kantor cabang bank umum di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai hal ini merupakan bagian dari strategi bisnis industri perbankan dalam merespons perubahan perilaku nasabah dan perkembangan teknologi digital.
“Penurunan jumlah cabang dilakukan atas keputusan bisnis masing-masing bank, seiring adopsi teknologi informasi yang semakin masif,” ujar Dian dalam jawaban tertulis konferensi pers RDKB Mei 2025, Senin (16/6/2025).
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK, jumlah kantor bank umum tercatat dalam tren penurunan dari waktu ke waktu.
Pada Maret 2024, total kantor bank umum berjumlah 24.243 unit. Jumlah kantor bank umum semakin menyusut di mana data terakhir per Maret 2025 tercatat sebanyak 23.734 unit. Artinya, jumlah kantor dari seluruh bank di Indonesia telah berkurang 509 unit dalam setahun.
Bank milik negara atau Himbara menjadi bank yang paling banyak mengurangi kantor fisik dalam satu tahun terakhir. Sebanyak 275 kantor ditutup, dari 12.391 unit per Maret 2024 menjadi 12.116 per Maret 2025.
Selanjutnya, bank swasta telah menutup kantor fisik sebanyak 187 unit, dari 7.789 unit per Maret 2024 menjadi 7.602 per Maret 2025. Bank Pembangunan Daerah (BPD) menutup 47 kantor fisik, dari 4.044 unit per Maret 2024 menjadi 3.997 unit per Maret 2025. Sedangkan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tetap berjumlah 19 unit.
Menurut OJK, perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses layanan keuangan secara digital mendorong kebutuhan kantor fisik menjadi berkurang.
Kondisi ini dinilai berdampak pada efisiensi operasional, sejalan dengan percepatan adopsi teknologi digital di sektor keuangan.
“Dengan semakin mudahnya akses layanan melalui aplikasi dan platform daring, kebutuhan untuk datang langsung ke kantor cabang menjadi semakin minim, terutama untuk transaksi bernilai kecil atau tidak produktif,” kata Dian.
Terkait dampak tenaga kerja, OJK menegaskan bahwa industri perbankan telah mengantisipasi penyesuaian ini melalui program pelatihan ulang (retraining) dan relokasi pegawai ke unit bisnis yang relevan.
“Hingga saat ini, potensi PHK massal tidak menjadi isu besar karena prosesnya tetap sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan dan kompensasi yang layak,” ungkap Dian.
(Dani Jumadil Akhir)