Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Skema Burden Sharing BI-Kemenkeu Biayai Program Prabowo Dinilai Berisiko, Ini Alasannya

Anggie Ariesta , Jurnalis-Sabtu, 06 September 2025 |17:01 WIB
Skema Burden Sharing BI-Kemenkeu Biayai Program Prabowo Dinilai Berisiko, Ini Alasannya
Skema Burden Sharing BI-Kemenkeu Biayai Program Prabowo Dinilai Berisiko, Ini Alasannya (Foto: BI)
A
A
A

JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan untuk kembali menerapkan skema berbagi beban atau burden sharing guna membiayai program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dinilai berisiko.

Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai kebijakan ini tidak hanya melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023, tetapi juga mengancam independensi BI.

Andri menjelaskan, menurut UU tersebut, BI hanya diperbolehkan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam kondisi krisis dan atas keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Dengan skema burden sharing yang dijalankan saat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, Andri mempertanyakan apakah pemerintah secara tidak langsung mengakui bahwa kondisi keuangan negara sedang krisis.

"Legitimasi independensi suatu bank sentral hanya bisa dinilai jika ia bisa diprediksi selalu mengambil keputusan berdasarkan kepentingan menjaga nilai mata uang," kata Andri dalam keterangannya, dikutip Sabtu (6/9/2025).

Dia menilai, ketika BI terlihat tidak bisa menolak permintaan pemerintah, independensinya tidak lagi memiliki legitimasi.

Pembelian SBN oleh BI untuk mendanai program pemerintah dinilai sebagai sinyal bahwa pemerintah kehabisan langkah untuk membiayai program-programnya.

Andri menyebutkan, pemerintah seharusnya mengutamakan pendapatan, kemudian pembiayaan melalui utang publik.

Namun, jika SBN harus dibeli oleh BI, itu artinya pemerintah kesulitan mengumpulkan utang dari publik dan terpaksa "mencetak uang."

"Pembelian SBN oleh BI ini akan menginjeksi likuiditas atau rupiah-rupiah baru tanpa menciptakan barang dan jasa baru ke perekonomian. Ini secara harfiah menurunkan nilai mata uang rupiah," jelasnya.

Menurut Andri, meskipun perekonomian saat ini berada dalam tren deflasi, masuknya likuiditas dalam jumlah besar ini dapat memicu inflasi yang sulit dikendalikan begitu tren deflasi berakhir.

Dia juga memperingatkan dampak negatif terhadap kepercayaan investor asing, yang dapat menyebabkan mereka menarik dana atau menuntut imbal hasil (yield) lebih tinggi, sehingga membebani keuangan negara.

 



Penjelasan Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) menyampaikan, pembagian beban bunga SBN atau burden sharing dengan Kemenkeu menekan beban fiskal pemerintah sehingga bank sentral turut mendorong pendanaan program ekonomi kerakyatan menjadi lebih terjangkau.

Sebagai bagian dari kebijakan moneternya yang ekspansif, BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Sebagian dana dari hasil pembelian SBN kemudian dialokasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk program ekonomi kerakyatan, seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.

“Dengan burden sharing atau pembagian beban bunga yang tentu saja bersama BI dan Kemenkeu, dan karenanya akan mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja bersama DPD RI secara daring di Jakarta, Selasa.

BI dan Kemenkeu telah sepakat membagi beban bunga SBN melalui mekanisme burden sharing, masing-masing menanggung setengah.

BI menyampaikan, pembagian beban bunga (burden sharing) dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening Pemerintah yang ada di bank sentral.

Hal ini sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas Pemerintah sebagaimana Pasal 52 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

“Selain itu, besaran tambahan beban bunga oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Ramdan menjelaskan bahwa bank sentral sepakat untuk melakukan burden sharing dengan Pemerintah untuk mengurangi beban biaya terkait program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita.

Pembagian beban bunga (burden sharing) dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN untuk program pemerintah terkait perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.

Dia menegaskan, sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetap mengacu pada prinsip-prinsip kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta tetap menjaga disiplin dan integritas pasar (market discipline and integrity).

Sebagaimana diketahui, Pemerintah mengarahkan pencapaian Asta Cita pada program-program ekonomi kerakyatan, termasuk program perumahan rakyat dan KDMP.

Sementara itu, dukungan BI dilakukan melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan berbagi beban bunga (burden sharing) dengan pemerintah untuk program-program yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut.

“Dukungan BI ditempuh tetap sesuai dengan kaidah kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent monetary policy),” kata Ramdan.

 



Dia menambahkan bahwa pembelian SBN di pasar sekunder juga dilakukan secara terukur, transparan, dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian sehingga terus menjaga kredibilitas kebijakan moneter.

Hingga akhir Agustus 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp150 triliun.

BI menyampaikan, pihaknya akan terus melakukan sinergi dengan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah, dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian.

Dalam kaitan ini, bauran kebijakan BI akan disinergikan dengan kebijakan fiskal, termasuk melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang telah mencapai Rp384 triliun sampai dengan akhir Agustus 2025.

“Selain itu, kebijakan digitalisasi sistem pembayaran terus diakselerasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Secara keseluruhan, kebijakan moneter diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian.

“Arah kebijakan ini ditempuh mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi global yang belum kuat dan pertumbuhan ekonomi domestik yang masih di bawah kapasitasnya,” kata Ramdan.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement