 
                JAKARTA – Saldo Anggaran Lebih (SAL) menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memindahkan dana Rp200 triliun ke bank Himbara. Namun kumulasi SAL yang besar, dinilai sebagai praktik
"berutang ugal-ugalan" selama era pemerintahan sebelumnya.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, mencurigai adanya potensi pengelolaan SAL yang tidak optimal dan dapat menyamarkan praktik buruk.
"Masalahnya menjadi lebih kompleks jika ternyata dana SAL selama ini memang amat diandalkan untuk kebutuhan kas temporer pemerintah," ujar Awalil, Senin (15/9/2025).
"Kemungkinan juga untuk membantu likuiditas beberapa BUMN dan Badan Hukum lainnya milik negara," imbuhnya.
Awalil menjelaskan, meskipun APBN era reformasi selalu defisit, pemerintah sering menarik utang yang melebihi kebutuhan untuk menutup defisit.
Fenomena ini menciptakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang kemudian terakumulasi menjadi SAL.
Ia menyoroti lonjakan SiLPA yang drastis, dari Rp53,39 triliun pada 2019 menjadi Rp245,60 triliun pada 2020. Menurutnya, meskipun saat itu terjadi pandemi, penarikan utang tetap dilakukan besar-besaran, jauh melampaui defisit.
Awalil menyebut bahwa posisi SAL terus membesar, dari Rp212,70 triliun pada 2019 menjadi Rp478,96 triliun pada 2022. Peningkatan ini menunjukkan bahwa sejak era pertama pemerintahan Jokowi, utang selalu lebih besar dari kebutuhan pembiayaan defisit.