Menurutnya, sejak mulai beroperasi pada akhir 2023, KCJB sudah mencatat kerugian Rp4,1 triliun pada tahun pertama 2024. Sementara pada semester pertama 2025, kerugian kembali tercatat sebesar Rp1,6 triliun.
“Ternyata dalam satu tahun sudah mengalami kerugian Rp4,1 triliun di Semester pertama 2025, itu 2024, karena kan beroperasi sekitar akhir 2023 ya, ternyata rugi 4,1 triliun dalam 1 tahun. Sekarang semester 1, sudah rugi Rp1,6 triliun,” ungkap Ubedillah.
“Jadi ini memang proyek rugi. Dan itu menjadi beban apalagi ketika kemudian dialihkan kepada APBN begitu,” tambahnya.
Ubedillah juga menyoroti ketidakefisienan proyek tersebut, yang dianggap melanggar perjanjian awal dengan pihak China. Dirinya menjelaskan bahwa kontrak awal menargetkan proyek rampung pada 2019, namun baru selesai pada 2023.
“Jadi memang enggak efisien dan melanggar perjanjian. Kemudian kita tahu ketika kontrak dengan China itu perencanaannya itu selesai 2019 apa yang terjadi baru selesai tahun 2023 Jadi molor. Jadi menurut saya di era sangat mudah dan negara membangun sesuatu yang sangat mercusuar tetapi dengan cara-cara yang maaf ya sangat tradisional,” ujarnya.
Selain masalah kerugian dan keterlambatan, Ubedillah juga mengaitkan proyek ini dengan indikasi kuat adanya praktik korupsi.
“Biasanya sebuah proses kebijakan yang inkonsisten kemudian anggaran yang berubah-rubah, lalu ada pembengkakan dalam analisis politik dan banyak perspektif tentang studi korupsi, itu menunjukkan ada indikator kuat tanda-tanda korupsi di situ,” paparnya.
Sekadar informasi, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh merupakan proyek strategis nasional yang digarap sejak 2016 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023.
Nilai investasi proyek ini mencapai USD7,27 miliar atau setara Rp118,37 triliun dengan kurs Rp16.283 per USD. Angka ini sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar USD1,2 miliar.
Dari total investasi tersebut, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB).